TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prof dr Zubairi Djoerban dikenal sebagai pionir dalam penanganan kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Dalam wawancaranya bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, dokter Zubairi mengungkapkan awal mula ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Pada tahun 1983, dokter Zubairi kembali ke Jakarta setelah melakukan tugasnya di Perancis.
Setelah menemukan kasus pertama HIV/AIDS di rumah sakit bagian selatan Perancis, Pakar kesehatan sekaligus dokter spesialis penyakit dalam subspesialis hematologi-onkologi (kanker) ini mencoba untuk mentracingnya di Jakarta.
Dari hasil tes waria di sekitaran Taman Lawang, ada beberapa yang hasil CT formnya rendah sekali.
Meskipun CT formnya rendah, tapi menurut Zubairi masih banyak penyebab lain.
Beberapa tahun kemudian Zubairi kembali bertanya pada lingkungan yang ada di sana dan ternyata sudah menjalar.
Selain itu, dokter Zubairi mengungkapkan penderita HIV/AIDS bisa sehat dan meminimalisir penularan, dengan syarat tidak putus obat.
Boleh Menikah dan Bisa Punya Anak
Para penderita HIV/AIDS juga diperbolehkan menikah karena hal itu adalah hak setiap warga negara.
Namun ada syarat yang harus diikuti.
"Apakah ODHA boleh menikah? Tentu itu hak semua orang."
"Namun pastikan diri tidak menulari lagi," kata dia saat berbincang dengan Tribun Network, Jumat (2/9/2022).
Ia mengungkapkan, saat ODHA ingin menikah harus melakukan terapi secara rutin dengan obat ARV, guna memastikan jumlah virus didalam tubuh sangat rendah dan tidak menulari pasangan.
"Tunda dulu. 3 bulan, paling lama 6 bulan minum obat teratur. Virusnya tidak terdeteksi. Tidak lagi menular, tidak menular keturunan," imbuh dokter yang berpratik di RS Kramat 128 ini.
Kemudian, saat pasangan ODHA terbukti negatif HIV, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan agar tidak tertular dan melakukan pemeriksaan secara rutin.
Kemudian, selama berhubungan, selalu menggunakan kondom sebagai tindakan pengamannya.
Serta tetap menjaga kesehatan, dan menghindari segala aktivitas yg beresiko tertular HIV seperti berganti-ganti pasangan seksual, melakukan hubungan seksual tanpa pengaman, dan menggunakan jarum suntik secara bergantian.
Pasangan sebelum menikah disarankan berkonsultasi terlebih dahulu dengan di klinik untuk melakukan cek atau test HIV.
"Sekarang silakan menikah saat virusnya menurun sekali. Jadi boleh menikah dan tentu anaknya tidak tertular," ujar Prof Zubairi.
Waspadai 5 Faktor Penularan HIV/AIDS
Zubairi Djoerban mengatakan, perilaku seksual bukan menjadi satu-satunya faktor penularan HIV/AIDS di dunia.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) ini, ada faktor-faktor lain yang turut menjadi jalur penularan virus HIV/AIDS. Mulai dari faktor keturunan hingga penggunaan alat suntik yang tidak steril/bersih.
"Jadi penerawang kami, ternyata ada banyak yang ternyata dari hubungan seksual saja," kata Prof. Zubairi.
Dia juga mengatakan, bahwa penyalahgunaan obat-obatan terlarang atau narkotika juga menjadi faktor penyebaran virus tersebut.
Prof. Zubairi juga mengidikasi, bahwa transfusi darah juga jadi media penyaluran virus HIV/AIDS. Apalagi, dulu transfusi darah bagi pengidap hemofilia dilakukan melalui metode faktor 8.
Seluruh darah yang masuk ke lembaga donor, dijadikan satu untuk distrerilisasi. Namun, pada kenyataannya justru disitilah terjadi penularan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh atau anti body.
"Kemudian, setelah cara tesnya, sekarang proses untuk faktor 8 disudahi, dan darah yang keluar dari PMI dan program transfusi darah manapun disaring bersih, 99,9 persen tidak bisa 100 persen, tapi bisa dikatakan semuanya tidak terjadi penularan," jelasnya.
Berikut kutipan wawancara khusus Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Prof. dr. Zubairi Djoerban di Jakarta:
Si X (penderita ODHA) ini, yang terinfeksi HIV. Itu dia dapatnya (tertularnya) dari mana?
Iya jadi penerawang kami ternyata ada banyak yang ternyata dari hubungan seksual saja. Jadi riwayatnya waktu itu dari Amerika Los Angeles, San Francisco, New York, New Jersey yang di sebelah sana kebanyakan teman-teman muda di kalangan laki sama laki.
Kalau yang di New York dan New Jersey kebanyakan penggunaan narkotika. Jadi gampang ketahuan. Dan gampang ketahuan lagi ternyata bisa lewat laki ke perempuan. Dan kemudian makin banyak ditemukan di Afrika dan di hampir semua benua akhirnya.
Baca juga: Bisakah Indonesia Bebas HIV di Tahun 2030? Ini Analisa Prof Zubairi
Dan ternyata penularan laki ke perempuan dan perempuan ke laki, jauh lebih banyak daripada penularan homoseksual dan dalam tanda kutip orang yang lain seksual, bisa hetero bisa mono, kemudian narkotik, dan ketiga lewat transfusi darah.
Jadi waktu itu pasien-pasien hemofilia mendapatkan faktor 8 ini intinya adalah donor dikumpulkan banyak kemudian diolah. Ketika tercemar satu, maka semuanya kena, banyak di Indonesia kasus yang saya tangani dengan hemofilia.
Kemudian, setelah cara tesnya, sekarang proses untuk faktor 8 sudahi, dan darah yang keluar dari PMI dan program transfusi darah manapun disaring bersih, 99,9 persen tidak bisa 100 persen tapi bisa dikatakan semuanya tidak terjadi penularan.
Nah keempat, jadi kalau seorang Ibu tertular HIV dan dia hamil, disitu resiko bayinya tertular itu antara 20-30 persen. Namun kemudian kalau Ibu ini minum obat maka resiko penularan nol.
Sekarang di banyak negara bagian di Amerika tidak ada lagi bayi lahir dari ibu yang positif yang tertular karena si Ibu minum obat.
Baca juga: Prof dr Zubairi Djoerban Cerita Awal Mula Terdeteksi HIV/AIDS di Indonesia
Namun kenyataannya di Indonesia berbeda karena Ibu ini ternyata tidak semua ibu hamil tes HIV itu yang terjadi di kita dan penularan di layanan kesehatan (jarum suntik).
Jadi misalnya menyuntik seseorang setelah suntik jangan ditutup lagi nah proses penutup ini kemudian bisa meleset. Jadi sekarang tidak boleh lagi, recapping, menutup kembali spet ke tutupnya. Itu yang kelima.
Baca juga: Selain Imunisasi dan Obat ARV, Anak dengan HIV Harus Dipantau Tumbuh dan Kembangnya
Dari kelima itu yang paling tinggi persentasenya yang mana (penularan)?
Yang paling tinggi dari laki ke perempuan, perempuan ke laki, heterogen. Penularan seksual.
Apakah fenomena LGBT di Indonesia yang semakin hari semakin marak justru bisa menjadi pengungkit atau pemicu infeksi HIV/AIDS?
Iya kan dari awal memang mula-mula dulunya di sana. Saya kira edukasi yang berulang-ulang itu ternyata yang banyak orang merasa cukup, ternyata tidak cukup karena masih banyak yang tidak tahu mengenai penularan.
Mari simak cerita lengkapnya pada video di atas.(TIM TRIBUN)