Laporan wartawan, Tribunnews.com Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (KNPT) menyoroti mengenai penanganan masalah konsumsi rokok pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) 2022.
Temuan Riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan kebiasaan merokok ciptakan beban ekonomi kesehatan di Indonesia mencapai Rp 17,9 hingga 27,7 triliun pada 2019 lalu. Studi ini berupaya mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan penyakit-penyakit mematikan, namun bisa dicegah yang disebabkan konsumsi rokok.
CISDI menyebut mayoritas beban biaya ekonomi kesehatan berasal dari biaya rawat inap dan perawatan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Angka 17,9 hingga 27,7 triliun rupiah setara dengan 61,76 persen hingga 91,8% total defisit JKN pada 2019 lalu.
Ketua Harian Komnas Pengendalian Tembakau, Mia Hanafiah mengatakan sampai saat ini, pemerintah pun belum juga menyelesaikan PP 109/2012 yang diharapkan dapat memperkuat perlindungan masyarakat terutama pada anak-anak dan keluarga miskin dari konsumsi rokok yang mengandung zat adiktif nikotin, baik produk rokok konvensional maupun rokok elektronik.
Penguatan perlindungan ini diharapkan melalui larangan iklan rokok di internet dan media luar ruang, larangan promosi dan sponsor rokok, perluasan peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning (PHW), larangan penjualan ketengan, pengaturan rokok elektronik, serta penguatan sanksi dan pengawasan kawasan tanpa rokok.
Baca juga: GAPPRI: Kenaikan Cukai Makin Eksesif, Peredaran Rokok Ilegal Tak Terbendung
"Penguatan peraturan yang ada di PP 109/2012 diharapkan akan mampu menekan prevalensi perokok anak yang terus naik, yang saat ini telah mencapai 9,1% (Riskesdas, 2018). Sementara, jumlah perokok dewasa dalam 10 tahun terakhir pun naik 8,8 juta (GATS, 2021)," ujar Mia dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Rabu(30/11/2022).
Dr. Adiatma Yudistira Manogar Siregar dari Indonesia Health Economic Association mengungkap bagaimana sesungguhnya konsumsi rokok melalui hitung-hitungan ekonomi kesehatan telah menimbulkan kerugian yang sangat besar di sisi ekonomi.
Adiatma menyebutkan bahwa di Indonesia, biaya ekonomi dari merokok pada tahun 2019 adalah Rp 184.36 triliun - Rp 410.76 (Meilissa et al., 2022), berbeda sedikit dari hasil estimasi Kosen et al (2017) dengan nilai Rp 438.5 triliun. Di dalamnya, biaya langsung dari merokok mencapai Rp 17,9 sampai Rp 27,7 triliun.
Diestimasikan BPJS Kesehatan mengeluarkan sekitar 10,4 sampai 15,6 triliun rupiah untuk biaya berobat untuk penyakit terkait dampak merokok (sekitar 61,2 sampai 91,8 persen dari total defisit).
Di lain sisi, Indonesia memiliki berbagai permasalahan yang belum terselesaikan seperti halnya pajak yang diterapkan untuk rokok belum memenuhi standar World Health Organization (WHO) dan permasalahan implementasi regulasi yang perlu diperketat sehingga pengendalian konsumsi rokok di Indonesia dapat menjadi lebih baik.
"Karena itu, jika pemerintah Indonesia masih fokus pada pembangunan ekonomi, terlebih menghadapi resesi yang akan datang, hendaknya pemerintah juga fokus pada penanganan konsumsi rokok demi menyelamatkan rupiah yang tertelan akibat konsumsi rokok yang sangat tinggi di Indonesia," ujar Adiatma.
Sementara itu Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan(Kemenkes) Drg. Widyawati M.KM menyampaikan bahwa pihaknya juga telah melakukan banyak upaya seperti banyak kampanye dan sekarang menyasar ke pelosok sejak tahun 2000-an dengan kampanye 'Hidup Bersih dan Sehat' salah satunya tidak merokok dan akan terus mengupayakan untuk mengendalikan konsumsi rokok.
Baca juga: Rokok Kretek Maupun Rokok Elektrik Sama-Sama Berisiko Picu Pneumonia
Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dr. Nancy Dian Anggraeni, M.Epid menyampaikan bahwa hasil uji publik revisi PP 109/2012 telah disampaikan oleh Menko PMK kepada Menkes dan uji prakarsa akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.
Guru Besar sekaligus Ketua Dewan Pembina Komnas Pengendalian Tembakau, Prof Emil Salim menyebut bahwa mungkin saat ini kita tidak memiliki uang sebanyak yang dimiliki oleh pendukung nikotin, dan tidak memiliki kekuatan politik seperti mereka, tetapi ia meyakini masih memiliki anak muda yang bisa membawa Indonesia lepas landas pada 2045, karena masa depan bangsa Indonesia ada di tangan mereka.
"Kita harus terus fokus berjuang secara total dalam mengurangi konsumsi rokok dan melawan adiksi demi melindungi generasi muda dalam memajukan bangsa serta mewujudkan cita-cita emas kita pada 2045," kata Prof Emil Salim.