TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dari sejumlah update penelitian, termasuk terbitan Cochrane yang dipublikasikan pada 17 November 2022 kemarin, menyebutkan vape atau e-cigarette berhasil terbukti secara efektif membuat orang berhenti merokok tembakau.
Cochrane merupakan sebuah jaringan internasional non-profit berbasis di Inggris terdiri dari para peneliti yang menitikberatkan pada persoalan kesehatan.
Para peneliti menyebut bahwa vape berunsur nikotin sekalipun 95 persen lebih aman daripada rokok tembakau dan dapat menyetop kebiasaan orang-orang dalam merokok konvensional.
Vape bahkan disebut jauh lebih efektif ketimbang NRT atau Nicotine Replacement Therapy.
Ini adalah terapi atau metode mengganti kebiasaan menghisap nikotin seperti dengan rutin mengunyah permen karet.
Baca juga: Pengusaha Awasi Penjualan Rokok ke Anak-anak, Bakal Gandeng Bea Cukai
Seperti yang dimuat di website-nya Cochrane.org, paling sedikit dalam kurun waktu 6 bulan mengkonsumsi rokok elektrik maka orang-orang bisa berhenti menghisap rokok tembakau.
Dr. Jamie Hartmann-Boyce, seorang profesor di University of Oxford sekaligus Editor dari Cochrane Tobacco Addiction Group, menyatakan bahwa selama ini terjadi kesalah-pahaman masyarakat soal rokok elektrik.
Sejak dipopulerkan oleh media massa 10 tahun lalu, publik seolah-olah dibuat ‘tidak’ semangat berhenti merokok melalui vape.
Berkat penelitian demi penelitian, termasuk support Michelle Mitchell, Chief Executive Cancer Research Inggris, mengatakan jika pihaknya lega mengabarkan bahwa rokok elektrik efektif membantu orang berhenti merokok (konvensional).
Dijelaskan pula oleh Dr. Nicola Lindson, seorang University Research Lecturer dari University of Oxford bahwa rokok elektrik bukan “membakar” tembakau.
Juga tidak ditemukan pula dampak yang berpotensi buruk atau membahayakan kesehatan sebagai bagian dari proses berhenti merokok tadi.
Meski tetap bukan berarti bebas risiko, serta tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh anak-anak atau remaja.
Sistem vape yang mengubah zat-zat nikotin dan kimia lainnya untuk dihirup ini memang sempat jadi perdebatan di kalangan publik dan pihak kesehatan tentunya.
Di Amerika sendiri ada beberapa Universitas yang belakangan ikut menelitinya, termasuk Penn State University Hershey, Pennsylvania dan Virginia Commonwealth University, Richmond, Vancouver.