TRIBUNNEWS.COM - Bintang pop Celine Dion mengumumkan pada hari Kamis (8/12/2022) bahwa dia membatalkan jadwal konsernya tahun depan karena didiagnosis Stiff Person Syndrome atau sindrom orang kaku, penyakit neurologis yang langka.
Stiff Person Syndrome menyebabkan tubuh menjadi kaku dan kejang otot yang parah.
Sindrom itu terbilang sangat jarang dan mempengaruhi mungkin satu dari sejuta orang, menurut Dr. Pavan Tankha, direktur medis pemulihan nyeri komprehensif di Klinik Cleveland.
Dilansir NY Post, inilah yang perlu diketahui tentang diagnosis, gejala, dan pengobatan Stiff Person Syndrome.
Apa itu Stiff Person Syndrome?
Stiff Person Syndrome atau sindrom orang kaku adalah kondisi neurologis autoimun langka yang memengaruhi sistem saraf pusat.
Baca juga: Celine Dion Menderita Stiff Person Syndrome, Tunda Konser karena Sulit Bernyanyi
Kondisi itu dapat menyebabkan kekakuan di seluruh tubuh dan kejang otot yang menyakitkan.
Penyakit ini pertama kali ditemukan pada 1920-an (dulunya dinamai "stiff man syndrome") setelah dokter melihat ada seorang pria yang kaku seperti kayu.
Penyebab pasti dari kondisi ini tidak jelas, tetapi sistem kekebalan tubuh mungkin berpengaruh, kata Dr. Scott Newsome, direktur Stiff Person Syndrome Center di Johns Hopkins Medicine.
Sindrom ini sulit didiagnosis, kata Dr. Newsome, dan mungkin kurang dikenali.
Sindrom ini sendiri tidak mematikan, tetapi secara signifikan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Selain itu, seperti banyak kondisi kronis lainnya, komplikasi terkait dapat menyebabkan harapan hidup pasien menjadi lebih pendek.
Siapa yang berisiko mengalami Stiff Person Syndrome?
Siapa pun pada usia berapa pun dapat mengalami Stiff Person Syndrome, kata Dr. Richard Nowak, asisten profesor neurologi di Yale School of Medicine.
Tetapi kondisi ini paling umum terjadi pada orang dewasa paruh baya, antara 30 dan 60 tahun, dan dapat dikaitkan dengan peristiwa yang sangat menegangkan.
Seperti banyak kondisi kekebalan lainnya, kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, kata Dr. Newsome.
Kondisi autoimun dan kanker tertentu juga dikaitkan dengan sedikit peningkatan risiko untuk mengembangkan sindrom tersebut, kata Dr. Tankha.
Namun, risikonya tetap rendah.
Apa saja gejala Stiff Person Syndrome?
Sindrom orang kaku seringkali diawali dengan kekakuan pada batang tubuh dan perut.
Kekauan kemudian dapat menyebar ke kaki, lengan, dan wajah, kata Dr. Tankha.
Pada awalnya, penurunan mobilitas ini mungkin jarang terjadi.
Namun lama kelamaan bisa menjadi konstan, menyebabkan orang berjalan sedikit membungkuk atau kehilangan kemampuan untuk berjalan sama sekali.
Orang juga bisa mengalami kejang otot yang menyakitkan atau sakit terus menerus.
Durasi kejang bisa berkisar dari detik hingga berjam-jam, kata Dr. Tankha.
Intensitas kejang juga bisa sangat parah hingga mematahkan tulang atau menyebabkan pasien jatuh.
Kejang otot dapat dipicu oleh berbagai faktor lingkungan, seperti suara keras, suhu dingin, dan tekanan emosional, kata Dr. Newsome.
Kehadiran rasa sakit kronis juga dapat menyebabkan beberapa pasien memiliki kecemasan, depresi, dan fobia pergi keluar atau mencoba aktivitas baru.
Bagaimana Stiff Person Syndrome didiagnosis?
Mendiagnosis Stiff Person Syndrome membutuhkan kombinasi alat, kata Dr. Nowak.
Karena sangat jarang, Stiff Person Syndrome biasanya didiagnosis dengan terlebih dahulu mengesampingkan kondisi lain yang lebih umum.
Penyedia layanan kesehatan kemudian akan melakukan pemeriksaan fisik dan neurologis, melakukan pemeriksaan darah, mengevaluasi kekakuan otot, melakukan MRI dan tes pencitraan lainnya, serta memberikan keran tulang belakang.
Penting untuk diingat bahwa meskipun ada gejala umum yang dapat dikaitkan dengan Stiff Person Syndrome, kondisinya sangat jarang, kata Dr. Nowak.
“Setiap pegal-pegal belum tentu Stiff Person Syndrome,” katanya.
Bagaimana Stiff Person Syndrome diobati?
Tidak ada obat untuk Stiff Person Syndrome, jadi dokter berfokus pada penanganan gejala dan nyerinya.
Perawatan untuk kondisi ini seringkali merupakan tambal sulam dari obat-obatan dan intervensi non-obat, kata Dr. Newsome.
Kekakuan dan kejang dapat diobati dengan pelemas otot dan suntikan Botox.
Gejala yang lebih parah diobati dengan imunoterapi dan imunosupresan, kata Dr. Newsome.
Mengurangi respons kekebalan tubuh juga dapat membantu meringankan gejala, kata Dr. Senda Ajroud-Driss, seorang profesor neurologi di Northwestern Feinberg School of Medicine.
Untuk perawatan non-farmakologis, pasien dapat menjalani terapi perilaku kognitif dan psikoterapi lainnya untuk membantu mereka mengurangi pemicu emosional yang memicu kejang otot, serta mengembangkan keterampilan untuk hidup dengan kondisi kronis.
Jenis perawatan lain, seperti terapi fisik, terapi aqua, terapi panas, dan akupunktur dapat memberikan kelegaan bagi beberapa pasien.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)