TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dampak polusi polusi udara yang ada di DKI Jakarta telah dirasakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Saluran nafasnya terganggu.
Ini ditandai dengan batuk-batuk yang sudah dialami Presiden Jokowi selama 4 pekan ini.
Presiden Jokowi batuk selama 4 minggu, dokter menduga ini terjadi akibat buruknya udara di Jakarta. Polusi masuk ke tubuh hingga menyebabkan batuk.
Batuk yang kali ini dialami Presiden disebut berbeda, karena sebelumnya tak pernah merasakan hal serupa.
Menurut dokter ada kontribusi buruknya kualitas udara, sehingga menyebabkan Presiden mengalami batuk.
Baca juga: Presiden Jokowi Jadi Korban Polusi Udara, Sebulan Alami Batuk
Tentang kondisi Presiden Jokowi batuk ini disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, (14/8/2033).
Presiden sudah batuk katanya sudah hampir 4 minggu, beliau belum pernah merasakan seperti ini dan kemungkinan, dokter menyampaikan, ada kontribusi daripada udara yang tidak sehat dan kualitasnya buruk," tuturnya.
Karena itu Presidenn meminta jajarannya mengambil langkah konkret untuk menangani udara di DKI Jakarta, dan sekitarnya.
"Presiden minta dalam waktu satu minggu ini ada langkah konkret," kata Sandiaga.
Sandiaga sepakat harus ada langkah konkret dalam penanganan polusi karena ia juga sangat merasakan buruknya kualitas udara di Jakarta.
Baca juga: Fakta Polusi Udara di Jakarta, Penyebab hingga Dampaknya, ASN Pemprov DKI Bakal WFH Mulai September
"Saya ini hampir tiap hari lari di ruang terbuka dan melihat kondisi kualits udara di Jakarta ini semakin tidak sehat, jadi langkah tegas pemerintah untuk secara cepat melakukan pembatasan pembatasan polusi baik dari aspek transportasi, maupun industri ini tentu harus kita dukung agar juga kesehatan masyarakat semakin baik karena fasilitas transpotasi publik sudah semakin baik, ini layaknya harus kita berikan langkah langkah insentif," katanya.
Perjalanan Polusi Masuk ke Saluran Napas hingga Sebabkan Batuk Seperti Jokowi
Dokter spesialis paru dr Agus Dwi Susanto, SpP menjelaskan perjalanan polusi udara masuk ke saluran napas manusia.
Hal pertama yang terjadi adalah terjadinya iritasi pada mukosa dan epitel.
Baca juga: Polusi Udara Memburuk, Mantan Menteri LHK Dorong Percepatan Transisi Kendaraan Listrik
Mukosa adalah lapisan basah yang berkontak dengan lingkungan eksternal seperti rongga hidung, dan rongga tubuh lainnya.
Sedangkan epitel lapisan besar sel yang menutupi semua permukaan tubuh yang terpapar lingkungan eksternal dan melapisi rongga tubuh internal.
"Problem utama nomor satu adalah iritasi, ini akan cepat muncul dalam jangka pendek. Baik gas dan partikel sifatnya iritasi akan menyebabkan iritasi pada mukosa atau epitel," ungkapnya pada media briefing virtual, Kamis (10/8/2023).
Awalnya, mata bisa menjadi merah dan berair usai polusi terhirup dan masuk ke hidung
Hidung pun menjadi berair, gatal dan tersumbat.
Polusi kemudian masuk saluran nafas dan akan menyebabkan gatal dan batuk seperti yang dialami Presiden Jokowi.
Jika polusi terus masuk ke bawah, dapat menyebabkan sesak nafas keluhan batuk disertai infeksi.
"Sehingga jadilah infeksi saluran napas atas (ISPA). Ini jangka pendek segera muncul," papar dr Agus.
Kedua, jika dia terhirup polusi, ini bisa menyebabkan kekurangan oksigen (aksifisia).
Karena kandungan CO2 yang berada di dalam polusi dapat mengikat oksigen 300 kali lebih kuat.
"Sehingga menjadi sesak nafas, pusing mual, itu bisa terjadi. Itu paling sering muncul segera. Berdiri di pinggir jalan, di daerah polutan gak usah pakai masker. Keluhan ini akan muncul dalam waktu singkat,"paparnya.
Kualitas Udara Jelek, 100 Ribu Warga DKI Kena ISPA Setiap Bulan
Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mengungkap, dari 11 juta penduduk DKI Jakarta, ada sekitar 100.000 warga yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) setiap bulannya.
Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama mengatakan, hal itu terjadi akibat peralihan cuaca.
Seperti diketahui, saat ini sedang masuk musim kemarau dari sebelumnya musim hujan.
"Warga yang terkena batuk, pilek, bahkan pneumonia setiap bulan rata-rata 100.000 kasus dari 11 juta penduduk," kata Ngabila seperti dikutip dari Antara, Jumat (11/8/2023).
Ia menjelaskan, polusi udara bisa menyebabkan berbagai penyakit. Selain ISPA, polusi udara bisa mengakibatkan penyakit kronis ataupun penyakit tidak menular seperti radang paru, Penyebab Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), asma, dan penyakit sirkulasi darah seperti hipertensi dan jantung.
Ia menyarankan, sebaiknya masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah jika tak ada keperluan mendesak.
"Seandainya kita mau keluar dari ruangan tertutup menuju ruangan terbuka sebaiknya menggunakan masker. Dan selama musim pancaroba ini jaga imunitas kita tetap baik dengan makan yang cukup dan bergizi, juga berolahraga," tuturnya.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, sepanjang Januari-Juni 2023 ada 638.291 kasus ISPA.
Rinciannya, Januari sebanyak 102.609, Februari 104.638, Maret 119.734, April 109.705, Mei 99.130, dan Juni 102.475 kasus.
Menurut Ngabila pola kasus ISPA akan sama dari tahun ke tahun yakni mulai meningkat pada September, kemudian puncaknya di Oktober sampai November dan mulai kembali turun sesudah Maret.
"Tidak ada kenaikan kasus ISPA yang bermakna sejak bulan April sampai Juli 2023," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes DKI Jakarta Dwi Oktavia menyatakan, ada kenaikan kasus ISPA pada 2023 dibandingkan 2022.
"Ini kondisi yang kita lihat kurang lebih seperti era sebelum COVID-19 di 2019-2018. Di 2020-2021, penyakit memang mungkin mayoritas mengalami COVID-19, untuk saluran napas akut, 2022 mulai sedikit meningkat, di 2023 meningkat, dan kembali polanya seperti pada era 2019-2018," terangnya.
(Tribunnews.com/Aisyah Nursyamsi/Taufik Ismail)