Algoritma kecerdasan buatan ini dapat membantu dalam mendeteksi nodul paru-paru, lesi.
Atau pola yang mencurigakan yang dapat mengindikasikan keberadaan kanker paru pada populasi berisiko tinggi.
Direktur pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular Kementerian Kesehatan TDr. Eva Susanti, S. Kp, M.Kes pun turut memberikan apresiasi.
“Kami mengapresiasi upaya Yayasan Kanker Indonesia, AstraZeneca, PDPI, dan IASTO secara bersama sama agar kita dapat meningkatkan program skrining nasional untuk kanker paru-paru," kata dr Eva pada kesempatan yang sama.
Menurutnya ada beberapa hal penting yg harus dilakukan, yaitu fokus pada identifikasi populasi berisiko tinggi melalui adopsi Kuesioner Profil Risiko Kanker Paru.
Lalu, eksplorasi potensi penggunaan teknologi inovatif seperti CT scan berdosis rendah.
"Dan kecerdasan buatan untuk membantu radiolog dalam mengidentifikasi pertumbuhan yang berpotensi kanker pada tahap awal. Sehingga pasien kanker paru dapat dideteksi dan diobati lebih awal," tutupnya.