Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini semakin banyak Pasien Ginjal Kronik (PGK) yang ingin melakukan transplantasi ginjal karena memiliki kelebihan dan keuntungan.
Umumnya, PGK yang melakukan tranplantasi ginjal akan membuat kesehatan dan kebugaran tubuh meningkat, batasan makan dan minum lebih longgar, dapat beraktivitas seperti sediakal sebelum mengalami penyakit ginjal dan dapat hidup lama dibandingkan jika tetap menjalani dialysis.
Namun sayangnya, banyak juga pasien baik di Indonesia maupun luar negeri setelah melakukan transplantasi menjadi abai dengan kelanjutan penanganan.
"Mereka merasa sehat sehingga tidak melakukan apa yang seharusnya untuk kelanjutan penanganan pascatransplantasi ginjal. Bahkan jumlahnya sekitar 60 persen dari seluruh pasien transplantansi ginjal," kata Maruhum Bonar saat edukasi bertema transplantasi ginjal dan bagaimana pencegahan serta pengobatan anemia pada pasien ginjal kronik yang diadakan Etana Biotechnologies dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) di Jakarta, Minggu (17/9/2023).
Baca juga: Tiga Faktor Risiko Utama Penyakit Ginjal Kronik
Keenganan menjalani proses lanjutan ini karena mereka merasa sehat dan bugar, tidak mengatur pola hidup dengan baik, tidak melakukan pemeriksaan secara rutin.
Menurut Bonar, pengobatan pasien yang melakukan transplantasi ginjal dilakukan sepanjang hidup dan tidak perlu menjalani cuci darah seumur hidup namun pengobatan rutin diperlukan mengingat ada berbagai risiko fatal yang wajib diperhatikan.
Risiko yang muncul infeksi perut, penurunan imun akibat obat imunosupresan, kemungkinan menurunnya fungsi ginjal akibat gaya hidup yang tidak sehat, dan yang terparah adalah kemungkinan penolakan ginjal.
Dalam kesempatan yang sama, dr. Mirna Nurasri Praptini, SpPD-KGH., M.Epid., FINASIM mengatakan anemia pada Pasien Ginjal Kronik harus diterapi dengan baik, salah satunya melalui pemberian terapi utama yaitu terapi Ertythropoiesis Stimulating Agent (ESA) di mana pada pasien gagal ginjal terapi ESA dimulai ketika Hb <10 g/dl.
"Sangat mudah untuk mengindentifikasi gejala anemia pada PGK seperti nafsu makan menurun, jantung berdebar-debar, sesak napas, sakit kepala serta kulit dan membran mukosa pucat,” katanya.
Saat ini prevalensi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) di seluruh dunia setiap tahunnya terus meningkat, dimana banyak pasien sudah dinyatakan bahwa ginjalnya berada pada tingkat eternalisis atau sudah harus cuci darah pada kronik tahap 5 yang artinya mereka tidak punya pilihan lain.
Hanya ada tiga pilihan, yaitu Transplantasi Ginjal, Hemodialisis/HD (Cuci Darah) dan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis).
Di Indonesia dari ketiga terapi ini yang paling banyak dilakukan dan dipilih para pasien Gagal Ginjal Kronis adalah Hemodialisis.
Selain itu juga, tidak banyak pasien Gagal Ginjal Kronik berkeinginan untuk melakukan pilihan pertama yaitu melakukan transplantasi ginjal. Berbagai alasan membuat para pasien ini bahkan enggan untuk memikirkannya, seperti biaya dan proses mencari donor yang bisa dibilang tidak mudah.
Randy Stevian, Head of Sales & Marketing Etana Biotechnologies Indonesia mengatakan, pihaknya secara konsisten untuk memberikan edukasi kepada Masyarakat khususnya Pasien Ginjal Kronik (PGK), sebagai bentuk upaya dalam meningkatkan kualitas hidup pasien.
"Bersama KPCDI kami percaya upaya edukasi ini dapat terus dilakukan mengingat komunitas ini bersinggungan langsung dengan PGK yang semakin terus meningkat setiap tahunnya,” katanya.