Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini obesitas dan obesitas sentral merupakan salah satu masalah kesehatan global dan diperkirakan 1,9 miliar orang akan menderita obesitas pada 2035.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018, prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa meningkat dari 10,5 persen pada 2007 menjadi 21,8% pada 2018.
Baca juga: Pasien DBD dengan Obesitas Berisiko Alami Kondisi Sakit Lebih Parah, Begini Penjelasannya
Terlepas dari tingkat keparahan dan keterkaitannya dengan sejumlah penyakit tidak menular seperti diabetes, kardiovaskular, hipertensi dan stroke, masih banyak miskonsepsi terkait obesitas yang beredar di masyarakat.
Dr. dr. Gaga Irawan Nugraha, Sp.GK(K) dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) mengatakan, saat ini, banyak yang menganggap bahwa mengatasi obesitas hanya masalah cara mengurangi kalori yang masuk dan berolahraga.
"Sayangnya, mengelola obesitas jauh lebih kompleks dari anggapan tersebut," kata Gaga saat diskusi media diskusi media bertema Mari Bicara Obesitas & Sains di Belakangnya di Jakarta belum lama ini.
Baca juga: Begini Cara Artis Citra Kirana Cegah Anak Alami Obesitas dan Jaga Berat Badan Ideal
Gaga meminta untuk tidak meremehkan kompleksitas ilmiah dari penyakit ini sehingga diperlukan pemahaman akan keseimbangan energi merupakan hal yang penting untuk menentukan langkah-langkah yang efektif untuk mengatasi obesitas.
Untuk dapat mengerti konsep keseimbangan energi penting untuk terlebih dahulu memahami bagaimana otak meregulasi nafsu makan dan faktor-faktor yang memengaruhi.
"Otak merupakan pusat pengaturan nafsu dan perilaku makan seseorang yang dipengaruhi oleh tiga penggerak utama, yakni homeostatic eating yang dipengaruhi oleh sinyal lapar, hedonic eating rasa lapar yang dipengaruhi keinginan atau kesenangan dan executive function yang melibatkan pengambilan keputusan untuk makan. Intervensi gaya hidup memengaruhi executive function," kata Gaga.
Gaga mengatakan, memberikan pemahaman terkait obesitas adalah langkah krusial dalam mengatasi masalah yang kompleks ini dan terapi gizi medis dan aktivitas fisik merupakan dasar untuk mengelola obesitas, hal ini tidak cukup bagi banyak pasien.
"Kita perlu menyediakan penanganan obesitas yang lebih komprehensif di Indonesia, beralih dari yang tadinya berfokus hanya pada indeks massa tubuh (IMT, atau body mass index, BMI) menjadi berfokus pada penanganan komplikasi terkait obesitas," katanya.
Untuk itu diperlukan tiga pilar pendukung untuk memberikan perawatan obesitas yang lebih baik, yaitu intervensi psikologis dan perilaku, farmakoterapi dan bedah bariatrik.
Selain itu, untuk mendukung pasien obesitas, dia juga menekankan pentingnya kerangka 5A: Ask, Assess, Advise, Agree, and Assist.
Kerangka ini memberikan panduan bagi tenaga kesehatan untuk memberikan perawatan yang holistik bagi penderita obesitas.
Berbicara tentang prevalensi obesitas di Indonesia, Ketua Tim Kerja Penyakit Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik, Kementerian Kesehatan, dr. Esti Widiastuti, MScPH mengatakan, mengatasi penyakit tidak menular, dan obesitas merupakan salah satu perhatian utamanya.
"Upaya kolaboratif antara lembaga pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan sektor swasta merupakan hal yang krusial dalam menangani isu yang kompleks ini," katanya.
Clinical, Medical, and Regulatory Novo Nordisk Indonesia dr. Riyanny Meisha Tarliman menambahkan, pihaknya berkomitmen untuk mendorong perubahan dalam penanganan obesitas dengan berfokus pada edukasi, advokasi dan riset, serta bekerja sama dengan berbagai pihak terkait.
"Dari tahun ke tahun, kami terlibat aktif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dan memberikan edukasi terkait obesitas melalui berbagai inisiatif. Salah satu contohnya adalah melalui Chatbot WhatsApp Tanya Gendis, yang mudah diakses dan menyediakan tentang diabetes dan obesitas sehingga dapat membantu masyarakat dalam mengambil keputusan kesehatan yang berdasarkan informasi," katanya.