Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Flu Singapura atau hand, foot, and mouth disease (HFMD) saat ini tengah jadi sorotan karena kasusnya sedang naik di Indonesia.
Dokter spesialis anak dr Edi Hartoyo mengungkapkan, jika di Indonesia penyakit ini umumnya bergejala ringan dan tidak sampai mengkhawatirkan.
Baca juga: Anak Rentan Tertular Flu Singapura Saat Mudik, Dokter Berikan Cara Pencegahannya
Sementara, HFMD di luar negeri kasusnya dapat menunjukkan gejala parah hingga memicu komplikasi bahkan kematian.
Di sisi lain, ancaman serius dari adanya komplikasi adalah berisiko anak jadi disabilitas.
Karena berkaitan dengan fungsi otak yang memicu meningitis dan disabilitas pada pengidapnya.
Baca juga: IDAI Ungkap Flu Singapura Berbeda dengan Cacar, Tidak Bentuk Kekebalan Jika Terinfeksi
"Apakah bisa (disabilitas)? Bisa. Salah satu komplikasi bisa meningitis (peradangan pada lapisan pelindung otak) atau ensefalitis (radang otak),” kata Edi dalam temu media secara daring bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Sabtu (6/4/2024).
Komplikasi meningitis akibat flu Singapura salah satunya adalah cerebral palsy atau lumpuh otak (CP).
“Kalau dia (pasien) kena komplikasi meningitis, hampir sebagian anak mengalami disabilitas. Walaupun dia tetap hidup tapi dia bisa CP di kemudian hari karena kejang lama,” jelas Edi.
Namun kata dr Edi, komplikasi akibat flu Singapura ini sangat jarang terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan negara lain seperti Taiwan yang memang menemukan laporan komplikasi flu Singapura pada anak.
"Insiden sangat jarang di kita. kalau negara kaya Taiwan, laporan ada. Kalau di kita belum ada laporan. Mungkin saja ada. Tapi di kita belum ada laporan komplikasi ke arah ensefalitis atau meningitis," tambahnya.
Baca juga: Bisakah Lesi Flu Singapura Hilang dan Tidak Berbekas pada Kulit? Begini Kata Dokter
Sebagai informasi, untuk mengetahui kejang anak apakah akibat meningitis karena flu Singapura memang harus dibuktikan.
Caranya dilakukan pengecekan pada cairan otak untuk diketahui penyebabnya.
"Sedang kan kita daerah jauh untuk mencari penyebab sangat susah. Mungkin negara maju iya. Ketemu. Kalau di Indonesia agak susah. Apa lagi penyakit ringan. Sehingga tidak masuk prioritas utama," tutupnya.