News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penanganan Tuberkulosis Harus Dilakukan Seperti Saat Pandemi Covid19, Wajib Kontak Tracing

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: willy Widianto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi tuberkulosis (TB) yang terjadi pada anak, berikut penjelasan dr. Hendra Wardhana, Sp.A mengenai pengobatan tuberkulosis pada anak

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tuberkulosis bisa menyerang siapa saja termasuk anak-anak. Karena itu penanggulangan tuberkulosis menjadi salah satu program prioritas pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di bidang kesehatan.

Baca juga: 35 Persen Penderita Tuberkulosis Usia Produktif, Penanggulangan di Tempat Kerja Penting

Penanganan tuberkulosis di Indonesia juga harus berbeda dengan penyakit lainnya karena tergolong penyakit yang sangat menular. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama. menyebut metode penanganan dan pengendalian saat pandemi Covid19 bisa dilakukan juga untuk penyakit tuberkulosis.

"Saat mendeteksi  juga harus ditemukan kontak erat dari orang yang sudah tertular.  Maksudnya orang di sekitar pasien yang mungkin sudah tertular. Jadi kita ingat waktu Covid, hal ini juga kita lakukan. Mencari yang dulu disebut-sebut sebagai kontak tracing, jadi harus dicari kontak dari pasien itu," ujar Prof Tjandra saat konferensi pers virtual Kongres Nasional PDPI ke-17” bersama dengan “World Congress of Bronchology and Interventional Pulmonology serta World Congress for Bronchoesophagolog, Kamis (24/10/2024). 

Kata Prof Tjandra orang dengan penyakit tuberkulosis harus ditemukan sebanyak mungkin. "Pada kondisi ini, tuberkulosis laten ini bukan orang yang saat ini berada dekat pasien, tapi orang yang sudah pernah tertular tuberkulosis," ujarnya.

Baca juga: Dokter Paru Ungkap Bahaya Vape Liquid Ganja yang Dikonsumsi Chandrika Chika

Tidak hanya soal penanganan dan pengendalian tuberkulosis, menurut  Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia(UI) ini selain anggaran, ada dua komitmen paling utama yang juga perlu dijalankan.

Pertama komitmen tentang kebijakan lintas sektor. Karena  tuberkulosis kata Prof Tjandra tidak dapat ditanggulangi oleh satu sektor saja. 

"Maka kami mengusulkan agar governance tuberkulosis bisa ditingkatkan dari level yang sekarang menjadi level lebih tinggi. Mungkin langsung dibawah Menteri Kesehatan, dibawah Menteri Koordinator, atau bahkan mungkin dibawah Presiden," kata Prof Tjandra. 

PDPI lanjut Prof Tjandra juga mengusulkan agar penyakit tuberkulosis disingkat sebagai TB saja, bukan TBC.  Ada dua alasan yang mendasari masukan ini.

Pertama karena dalam bahasa Indonesia tuberkulosis tidak menggunakan huruf C. "Jadi nggak usah pakai C sebenarnya itu satu. Kedua, dalam bahasa Inggris memang tuberkulosis ada C-nya, tapi dalam bahasa Inggris pun tuberkulosis disingkat sebagai TB, bukan TBC," ujarnya.

Selanjutnya soal pengobatan yang paling utama adalah obat anti TB (OAT) yang harus diberikan pada pasien TB yang masih sensitif.  Artinya kuman masih bisa dibunuh oleh obat-obat. 

Selain itu pengobatan juga harus diberikan pada pasien yang sudah mengalami resistensi.  PDPI menganjurkan pemberian obat juga diberikan pada pasien dengan TB laten, seperti pemberian terapi pencegahan Tuberkulosis (TPT).

Tak kalah pentingnya adalah perlunya penanganan penyakit yang memiliki keterkaitan dengan TB..  "Paling tidak saya sebut tiga disini yaitu HIV/AIDS, kemudian diabetes melitus dan kebiasaan merokok. Mereka ini punya dampak yang dapat memperburuk mengendalikan tuberkulosis," kata prof Tjandra.

Selain itu PDPI menyarankan untuk melakukan screening pada penyakit paru lainnya dengan teknologi yang ada. Serta memastikan masalah gizi terhadap pasien TB dapat tertangani. 

Baca juga: Kasus Ayah Tewas Dibegal Saat Jemput Anak di Bogor, Ternyata Pelaku Sakit Hati Masalah Utang

"Kalau orang yang kurang gizi atau itu tentu saja akan memperburuk TB. Dalam hal ini kami sangat menyambut baik program presiden tentang makan siang bergizi. Karena makan siang bukan semata-mata menambah gizi masyarakat. Tapi itu tentu juga berperan dalam pengendalian berbagai penyakit, termasuk TB," sambungannya. 

Baca juga: Jika Tuberkulosis Anak 6 Bulan Belum Sembuh, Adakah Pengobatan Lanjutan? Berikut Ulasan dr Hendra

Stigma di tempat kerja terhadap pasien TB juga perlu dihilangkan. Jangan sampai ada pekerja yang diberhentikan karena mengalami sakit TB.  Prof Tjandra menambahkan usulan adanya rumah sehat untuk pasien TB. Sehingga pasien mudah mendapatkan pelayanan akses kesehatan.

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini