Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengingatkan, agar pemain atau korban judi online yang menunjukkan tanda gangguan mental segera mencari pertolongan kesehatan.
Baca juga: 100 Orang Dirawat di RSCM akibat Judi Online, Remaja dan Dewasa Muda Lebih Berisiko Kecanduan Judol
Ia mengatakan, kecanduaan judi online bisa membuat depresi, anxiety maupun gangguan mental lain.
“Kalau bisa segera mencari pertolongan kesehatan. Judi online ini harus benar-benar dihilangkan, karena membuat depresi, anxiety. Seseorang punya gangguan mental,” kata dia kepada wartawan, Jumat (9/11/2024).
Sebagai bagian dari pemerintah untuk menyehatkan masyarakat baik fisik maupun mental, pihaknya membuka layanan atau hotline bagi masyarakat yang memiliki gangguan mental melalui aplikasi SATUSEHAT.
Baca juga: Rumah Markas Judi Online di Cengkareng Dibeli Rp2,8 M, Perputaran Uang Rp21 M Per Hari
Kemenkes berupaya mengembangkan produk-produk ekosistem SATUSEHAT untuk memudahkan masyarakat mengakses data kesehatan dan mengelola kesehatan pribadi secara mandiri. Dengan adanya ekosistem SATUSEHAT, diharapkan pertukaran data kesehatan dapat lebih efisien dan efektif.
“Kalau ke rumah sakit jiwa, malu. Di SATUSEHAT Itu ada tes online yang bisa dilakukan, untuk bisa mengecek apakah ada masalah jiwa,” ujar Budi Gunadi Sadikin.
Psikiater Konsultan Adiksi dan Kepala Divisi Psikiatri RS Cipto Mangunkusumo ( RSCM) Jakarta DR Dr Kristiana Siste Kurniasanti, SpKJ(K) mengungkapkan, di tahun 2024 ini kesadaran untuk berhenti dari aktivitas adiksi judi online meningkat.
Disebut Kristiana, hampir 100 orang menjalani rawat inap di RSCM untuk menyembuhkan adiksi.
Sementara untuk pasien rawat jalan, jumlahnya mencapai dua kali lipat dari pasien rawat inap.
Menurut dia, tren judi online naik signifikan sejak 2021, seiring menjamurnya pinjaman online yang m kemudahan pencairannya.
Dari riset yang dilakukan pihaknya, remaja dan dewasa muda lebih berisiko alami kecanduan judi online. Menurut dr Kristiana, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan otak remaja yang belum sempurna seutuhnya.