TRIBUNNEWS.COM - Perayaan Sekaten sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi acara rutin tahunan di antaranya di Kota Solo dan Jogja.
Namun, Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) 2019 sebagai acara yang memeriahkan Sekaten di Jogja ditiadakan.
Ditiadakannya pasar malam ini merupakan keinginan Raja Kasultanan Yogyakarta, Sri Sulatan Hamengku Buwono X.
Tahun ini keraton meniadakan pasar malam dengan alasan ingin mengembalikan kembali makna sebenarnya dari Sekaten.
"Itu memang dawuh Dalem sebenarnya. Jadi Ngarso Dalem sempat dawuh alun-alun itu kalau setiap tahun dipakai pasar malam itu tidak pernah bisa bagus," ujar Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KPH Notonegoro, Kamis (3/10/2019).
Selain itu, keputusan ini dimaksudkan untuk mengembalikan kembali kondisi rumput di Alun-alun Utara.
"Setiap kali habis dipakai pasar malam, alun-alun itu kondisinya tidak bagus, rumputnya habis, kotor dan sebagainya," katanya.
Menantu Raja Kesultanan Yogyakarta tersebut juga mengungkapkan, pasar malam saat Sekaten sebenarnya bukan bagian dari rangkaian tradisi Sekaten.
Pasar malam mulai ada semenjak penjajahan Belanda.
"Nah, dulu itu memang ada ceritanya. Belanda itu yang mengadakan pasar malam untuk memecah perhatian rakyat supaya tidak terlalu ke sana. Kemudian setelah lama tidak ada, sekitar 30 tahun yang lalu diadakan lagi pasar malam Sekaten," kata Notonegoro.
Asal-usul Sekaten
Sementara itu, tradisi Sekaten telah berlangsung sejak masa pemerintah Kerajaan Demak.
Sekaten terus menerus dilestarikan oleh Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah, di anataranya Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram hingga Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Ngayogyakarta.
Dilansir dari situs laman resmi Keraton Yogyakarta, Sekaten berasal dari Bahasa Arab ‘syahadatain’ yang berarti dua kalimat syahadat.
Sekaten juga dikaitkan dengan gamelan yang diberi nama Kyai Sekati.
Pada masa Kerajaan Demak, para Wali menggunkan momentum kelahiran Nabi Muhammad yang jatuh pada Bulan Mulud (Tahun Jawa) untuk berdakwah.
Para Wali akan membunyikan Gamelan Sekati untuk menarik perhatian masyarakat.
Masyarakat yang tertarik pun akan berkumpul dan mendengarkan dakwah para Wali dalam menyebarkan agama Islam.
Sekaten yang diselenggarakan pada Bulan Mulud kemudian juga sering disebut dengan peringatan Muludan.
Fakta Unik Sekaten
Tradisi Sekaten, selain mempunyai sejarah tekait perkembangan agama Islam di Pulau Jawa, juga mempunyai fakta-fakta unik yang jarang diketahui oleh banyak orang.
Sekaten hanya diadakan oleh Keraton Jogja dan Keraton Solo.
Dilansir dari berbagai sumber, Tribunnews merangkum fakta-fakta unik tentang Sekaten Jogja dan Solo.
1. 'Sekaten' dari Bahasa Arab
Nama Sekaten merupakan adapatasi dari istilah Arab 'syahadatain' yang artinya dua kalimat syahadat.
Kalimat syahadat merupakan bagian dari Rukun Islam, yakni sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan atas ke-esaan Allah dan Muhammad sebagai rasul-Nya.
2. Sekaten Pertama Diadakan di Demak
Meskipun saat ini tradisi Sekaten hanya diadakan di Kompleks Keraton Jogja dan Solo, namun Sekaten pertama kali diadakan di Demak.
Sekaten sudah ada sejak zaman Kerajan-kerajaan Islam di Jawa Tengah , yakni Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram.
Tradisi Sekaten pertama kali diadakan pada zaman Kesultanan Demak, bertempat di halaman Masjid Agung Demak.
3. Tujuan Awal Sekaten untuk Siarkan Agama Islam
Sekaten merupakan salah satu upaya para Wali dalam menyiarkan agama Islam di Jawa Tengah.
Para Wali membunyikan Gamelan Sekati untuk menarik perhatian masyarakat yang pada zaman itu menyukai gamelan.
Saat masyarakat sudah berkumpul, para Wali akan berdakwah mengenai agama Islam.
4. Pasar Malam Bukan Bagian dari Sekaten
Tradisi Sekaten awalnya merupakan serangkaian kegiatan mengeluarkan gamelan dari dalam Keraton dan menabuh gamelan.
Namun pada zaman penjajahan Belanda, Belanda mengadakan paar malam untuk memecah perhatian masyarakat sehingga masyarakat tidak mengikuti perayaan Sekaten.
Kemudian pasar malam diadaptasi menjadi bagian dari Sekaten.
5. Gamelan Berbunyi 7 hari
Gamelan yang di keluarkan dari Kraton ke area Masjid Gedhe Kauman (Yogyakarta)/Masjid Agung Kraton (Surakarta) akan ditabuh selama tujuh hari berturut-turut, sejak pagi hingga tengah malam secara bergantian.
Gamelan akan berhenti ditabuh ketika memasuki waktu sholat.
6. Tradisi Nginang, Telur Asin, dan Pecut
Tradisi ini hanya ditemukan di Sekatenan Surakarta.
Tradisi nginang atau mengunyah kinang yang terdiri dari lima unsur, yaitu daun sirih, injet, gambir, tembakau dan bunga kantil.
Nginang dilakukan karena dipercaya agar mendapatkan rahmat dari Tuhan berupa panjang umur.
Pecut menjadi mainan khas yang dijual saat Sekaten di kompleks Masjid Agung Keraton Surakarta.
Pecut yang biasanya dipakai untuk mengembala hewan ternak, dipercaya mempunyai makna akan memberi dorongan atau penggerak semangat.
Selain Nginang dan Pecut, ciri khas Sekaten Surakarta yakni Telur Asin.
Telur asin yang terbuat dari telur bebek dalam bahasa Jawa diartikan endhog amal, artinya manusia itu yang penting adalah amalnya.
7. Tahun 2019 Pasar Malam Sekaten di Jogja Ditiadakan
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PSMS) yang diadakan pada masa kolonial Belanda pernah ditiadakan.
Baru sekitar 30 tahun yang lalu, pasar malam diadakan lagi.
Namun pada tahun ini Keraton Yogyakarta tidak mengadakan pasar malam Sekaten.
Pasar malam diganti dengan acara Pameran Sekaten dan serangkain tradisi Sekaten.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)