TRIBUNNEWS.COM - Mengenal Gamelan Sekati yang ditabuh saat perayaan Sekaten, gamelan ini ditabuh selama tujuh hari pada perayaan Sekaten.
Gamelan Sekati identik dengan perayaan tradisi Sekaten.
Gamelan Sekati yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta ini, merupakan warisan Kerajaan Mataram.
Dilansir dari situs laman kratonjogja.id, gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa, yang memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem tangga nada slendro dan pelog.
Masyarakat Jawa menyebut gamelan sebagai gangsa yang merupakan jarwa dhosok (akronim) dari tiga sedasa (tiga dan sepuluh).
Tiga sedasa diartikan pada elmen pembuat gamelan yang berupa perpaduan tiga bagian tembaga dan sepuluh bagian timah.
Perpaduan tersebut menghasilkan perunggu yang dianggap sebagai bahan baku terbaik untuk membuat gamelan.
Instrumen lain yang dimainkan bersama seperangkat gamelan di antaranya kendang, bonang, panerus, gender, dan gambang.
Selain itu, ada suling, siter, clempung, slenthem, demung, saron, gong, kenong, kethuk, japan, kempyang, kempul, dan peking.
Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 21 perangkat gamelan yang dikelompokkan menjadi dua, yakni Gangsa Pakurmatan dan Gangsa Ageng.
Gangsa Pakurmatan adalah seperangkat gamelan yang dimainkan untuk mengiringi Hajad Dalem atau upacara adat di Keraton.
Sementara itu, Gangsa Ageng yakni seperangkat gamelan yang dimainkan sebagai pengiring pergelaran seni budaya di Keraton.
Gamelan Sekati termasuk dalam bagian Gangsa Pakurmatan.
Gamelan Sekati atau Kanjeng Kiai Sekati terdiri dari dua perangkat, yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga.
Seperangkat gamelan ini khusus dimainkan saat perayaan Sekaten.
Gamelan Sekati yang disimpan di Bangsal Trajumas Keraton, saat perayaan Sekaten akan diusung ke area Masjid Gedhe Kauman, kemudian gamelan akan ditabuh secara bergantian.
Pertama, Gamelan Gunturmadu yang akan ditabuh kira-kira dibunyikan selama dua jam, kemudian berpindah ke Gamelan Nagawilaga.
Gamelan akan dibunyikan selama tujuh hari, yakni pada 6 Mulud (Tahun Jawa) sampai 12 Mulud, sejak pukul 8 pagi hingga pukul 12 malam, dan akan berhenti saat memasuki waktu sholat.
Pada zaman dahulu, momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW dijadikan oleh para Wali untuk menyiarkan agama Islam.
Para Wali membunyikan Gamelan untuk menarik perhatian masyarakat Indonesia yang saat itu menyukai gamelan.
Saat masyarakat sudah berkumpul, para Wali akan berdakwah mengenai agama Islam.
Hingga akhirnya, kini tradisi tersebut disebut Sekaten.
7 Fakta Unik Sekaten Jogja dan Solo
Tradisi Sekaten, selain mempunyai sejarah tekait perkembangan agama Islam di Pulau Jawa, juga mempunyai fakta-fakta unik yang jarang diketahui oleh banyak orang.
Sekaten hanya diadakan oleh Keraton Jogja dan Keraton Solo.
Dilansir dari berbagai sumber, Tribunnews merangkum fakta-fakta unik tentang Sekaten Jogja dan Solo.
1. 'Sekaten' dari Bahasa Arab
Nama Sekaten merupakan adapatasi dari istilah Arab 'syahadatain' yang artinya dua kalimat syahadat.
Kalimat syahadat merupakan bagian dari Rukun Islam, yakni sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan atas ke-esaan Allah dan Muhammad sebagai rasul-Nya.
2. Sekaten Pertama Diadakan di Demak
Meskipun saat ini tradisi Sekaten hanya diadakan di Kompleks Keraton Jogja dan Solo, namun Sekaten pertama kali diadakan di Demak.
Sekaten sudah ada sejak zaman Kerajan-kerajaan Islam di Jawa Tengah , yakni Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram.
Tradisi Sekaten pertama kali diadakan pada zaman Kesultanan Demak, bertempat di halaman Masjid Agung Demak.
3. Tujuan Awal Sekaten untuk Menyiarkan Agama Islam
Sekaten merupakan salah satu upaya para Wali dalam menyiarkan agama Islam di Jawa Tengah.
Para Wali membunyikan Gamelan Sekati untuk menarik perhatian masyarakat yang pada zaman itu menyukai gamelan.
Saat masyarakat sudah berkumpul, para Wali akan berdakwah mengenai agama Islam.
4. Pasar Malam Bukan Bagian dari Sekaten
Tradisi Sekaten awalnya merupakan serangkaian kegiatan mengeluarkan gamelan dari dalam Keraton dan menabuh gamelan.
Namun pada zaman penjajahan Belanda, Belanda mengadakan paar malam untuk memecah perhatian masyarakat sehingga masyarakat tidak mengikuti perayaan Sekaten.
Kemudian pasar malam diadaptasi menjadi bagian dari Sekaten.
5. Gamelan Berbunyi 7 hari
Gamelan yang di keluarkan dari Kraton ke area Masjid Gedhe Kauman (Yogyakarta)/Masjid Agung Kraton (Surakarta) akan ditabuh selama tujuh hari berturut-turut, sejak pagi hingga tengah malam secara bergantian.
Gamelan akan berhenti ditabuh ketika memasuki waktu sholat.
6. Tradisi Nginang, Telur Asin, dan Pecut
Tradisi ini hanya ditemukan di Sekatenan Surakarta.
Tradisi nginang atau mengunyah kinang yang terdiri dari lima unsur, yaitu daun sirih, injet, gambir, tembakau dan bunga kantil.
Nginang dilakukan karena dipercaya agar mendapatkan rahmat dari Tuhan berupa panjang umur.
Pecut menjadi mainan khas yang dijual saat Sekaten di kompleks Masjid Agung Keraton Surakarta.
Pecut yang biasanya dipakai untuk mengembala hewan ternak, dipercaya mempunyai makna akan memberi dorongan atau penggerak semangat.
Selain Nginang dan Pecut, ciri khas Sekaten Surakarta yakni Telur Asin.
Telur asin yang terbuat dari telur bebek dalam bahasa Jawa diartikan endhog amal, artinya manusia itu yang penting adalah amalnya.
7. Tahun 2019 Pasar Malam Sekaten di Jogja Ditiadakan
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PSMS) yang diadakan pada masa kolonial Belanda pernah ditiadakan.
Baru sekitar 30 tahun yang lalu, pasar malam diadakan lagi.
Namun pada tahun ini Keraton Yogyakarta tidak mengadakan pasar malam Sekaten.
Pasar malam diganti dengan acara Pameran Sekaten dan serangkain tradisi Sekaten.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)