TRIBUNNEWS.COM - Bali ndeso mbangun ndeso (pulang ke desa, membangun desa) tak hanya sekadar jargon bagi Trisno.
Sarjana pertama di Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang ini benar-benar mengamalkan isi kalimat tersebut.
Bahkan sebelum lulus, Trisno sudah bertekad tak mau mencari kerja di kota-kota besar, ia ingin pulang kembali ke desanya untuk memajukan tanah kelahirannya.
" Sejak 2003, sewaktu saya kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), saya sudah meneguhkan tekad setelah lulus kembali ke dusun, untuk mewujudkan visi, masyarakat religius, produktif dan berbudaya,” kata Trisno ketika berbincang dengan Tribunnews.com medio Desember 2020.
Awalnya pada tahun 2006/2007, ia mengelola peternakan sapi bersama warga di dua kecamatan.
Dari sisi besarnya pengelolaan dana ia dinilai berhasil, namun dari sisi misi untuk membangun desa, ia menolak untuk dikatakan berhasil.
“Mungkin orang-orang di luar menilai saya berhasil dalam pemberdayaan di peternakan, karena dana yang kami kelola bersama 72 peternak mencapai 5,8 miliar rupiah, tapi dari sisi pemberdayaan menurut saya masih gagal,” jelas pria yang akrab dipanggil Kang Tris ini.
Ia menyatakan pola pikir masyarakat waktu itu belum sesuai seperti tujuan pemberdayaannya, masih stagnan.
“ Ketika uang masuk, maka sudah, kemauan untuk pengembangan melakukan hal yang lebih baik dalam hal beternak belum terbentuk, maka waktu itu saya sudahi,” cerita bapak 3 anak ini.
Membentuk dusun jadi laboratorium sosial lalu jadi pilihan Trisno untuk mengembangkan desanya.
Ia merombak cakupan pemberdayaannya yang semula di dua kecamatan diperkecil di dusun Tanon yang berpenduduk sekitar 42 Kepala Keluarga saja.
“ Saya berpikirnya seperti bunga, jika bunga yang baik itu tumbuh dan harum, meski hanya kecil dan satu saja, maka bisa dilirik oleh yang lain, Dusun Tanon ini yang saya jadikan bunga untuk dikembangkan,” ujarnya.
Lalu ia melakukan pengembangan masyarakat lagi dengan pendekatan wisata.
Desa Wisata yang Tak Punya Apa-apa
Trisno lalu mengenalkan konsep desa wisata dengan andalan outbond ndeso, kegiatan mancakrida di dusun Tanon dengan berbagai kegiatan yang melibatkan penduduk Dusun Tanon itu sendiri.
Pengalamannya menjadi trainer sewaktu kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta dimanfaatkan oleh Trisno untuk menggencarkan paket outbond ndeso di tahun 2009.
Beberapa sekolah di Solo dan Semarang yang sering ia bimbing dalam kegiatan alam bebas, diboyong untuk berkegiatan di desa Tanon.
“ Kami konsepnya adalah outbond di alam terbuka Dusun Tanon yang melibatkan orang desa sini,” kata dia.
Peserta juga diikutkan program Sinau Urip nDeso, yakni menginap di rumah-rumah penduduk Dusun Tanon selama beberapa hari dengan mengikuti kehidupan ala desa.
Dari sisi pemberdayaan, dengan outbond ndeso, Kang Tris perlahan-lahan menyisipkan misinya untuk memajukan desa.
Yang pertama adalah pengembangan desa dengan tetap memperhatikan konservasi profesi asli masyarakat.
“ Jadi selama outbond ndeso profesi masyarakat tidak ada yang berubah sebenarnya, mereka tetap bertani dan berternak seperti biasa, bedanya mereka melakukan pekerjaan sehari-hari ada peserta outbond yang ikut atau bahkan membantu,” terang Trisno.
“ Dan dari situ, petani dan peternak yang berpartisipasi outbond ndeso bisa dapat bagi hasil.”
Misi lain Sarjana Psikologi ini ingin agar generasi muda Dusun Tanon tetap mewarisi profesi asli desa, tentunya dengan pengembangan yang lebih baik.
“ Harapannya anak muda tidak lari ke kota semua, harus ada yang tetap di desa untuk mengembangkan desanya sendiri, mereka bisa tetap berkarya dengan jadi petani, atau penari yang sukses, untuk sukses bisa dari desa, tak harus ke kota,” kata Kang Tris.
Penyisipan misi pengembangan desa kedua adalah konservasi mainan tradisional, yakni dengan memainkan permainan tradisional Desa Tanon di kegiatan outbond.
“ Sebenarnya permainannya sama saja dengan desa-desa di Jawa, misalnya ada gobak sodor, petak umpet, dan lainnya, namun karena outbond maka setelah permainan kami dan warga pendamping memantik nilai-nilai apa yang bisa didapatkan dari kegiatan tersebut,” ujarnya.
Outbond ndeso Dusun Tanon juga diperlengkap dengan adanya kesenian tarian.
Ada beberapa tarian khas Dusun Tanon yang memang sudah turun temurun ada seperti Geculan Bocah, Topeng Ireng, Soreng, dan Topeng Ayu.
“ Terkait penjenamaan kami menjadi Desa Menari, yang pertama kami memang senang menari sejak zaman dulu, penduduk Dusun Tanon sejak dulu terkenal sebagai niyaga atau penabuh gamelan yang handal dan juga penari tradisional,” urai Kang Tris.
“Kami warga Dusun Tanon ada darah tari dan kami ingin tunjukkan itu, semua yang berkegiatan di dusun Tanon bisa ikut belajar dan bahkan ikut pentas saat ada pertunjukan seni, kami beberapa kali mengadakan pertunjukan cross culture dengan peserta dari luar negeri,” kata Trisno.
Desa Menari juga mempunyai satu tarian khas yakni Tari Lembu Tanon, yang menceritakan kehidupan sehari-hari warga Tanon dalam beternak.
Trisno menjelaskan, Desa Menari juga merupakan akronim dari Menebar Harmoni, Merajut Inspirasi Menuai Memori.
Semua pengujung diharapkan bisa merasakan harmoni ketika berkegiatan di Dusun Tanon meski ada perbedaan antara kehidupan di kota dan desa, lebih dari itu bisa mendapatkan inspirasi dan membawa kenangan indah dan bermakna ketika pulang.
“Apalagi yang kami tawarkan di Desa Menari ini adalah pengalaman, pengalaman menebar bibit di ladang, menyiangi tanaman hingga ke panen dan memasak, jadi peserta akan tahu perjalanan sepotong sayuran bisa sampai ke piring di meja makannya itu seperti apa,” kata Trisno memberikan contoh.
Konsep outbond ndesa ini sempat Trisno ajukan ke pemerintah untuk di masukkan ke desa wisata yang beberapa tahun lalu tengah menjamur, namun ditolak.
“ Alasannya ya karena di Tanon tidak ada apa-apanya, mungkin pada waktu itu masih lazim jika desa wisata adalah desa yang punya air terjun atau punya candi, sedangkan di Tanon ini memang tidak punya itu semua,” jelas Trisno.
Trisno berpendapat Dusun Tanon mempunyai kekayaan berbentuk kehidupan masyarakat desa yang masih asli, lengkap dengan kegiatan sehari-hari yang mempunyai ciri khas dan sarat akan nilai.
“ Kami menawarkan wisata pengalaman, jadi pengalaman hidup di desa dengan segala pernak-pernik yang kami tawarkan, kami bisa menerangkan apa itu gotong royong, apa itu kerja bakti dengan kegiatan nyata, tidak hanya materi di dalam kelas” lanjut Kang Tris.
Makin moncer karena cuci piring
Trisno menceritakan Desa Menari ini kemudian bisa banyak dikunjungi oleh sekolah-sekolah di Jawa Tengah karena hal sepele, cuci piring.
“ Jadi waktu itu ada sekolah yang berkegiatan di sini dan menginap beberapa hari, sesuai kurikulum, semua peserta harus mandiri dan berkehidupan seperti masyarakat Tanon, dan ada satu yang nyantol membawa kebiasaan baik yang mungkin tidak biasa di rumah si siswa” kata Trisno.
Yakni ada seorang siswa yang membawa kebiasaan baik dari hidup bersama masyarakat desa kembali ke rumah yakni mencuci piring setelah makan.
“Orangtuanya kaget, ini anak biasanya sehari-hari dilayani kok tiba-tiba habis makan mencuci piring sendiri, setelah ditanyai ternyata itu kebiasaan yang ia dapat saat menginap di Tanon sini,” cerita Kang Tris.
“Dari situ kami mulai dikenal dari mulut ke mulut dan banyak sekolah-sekolah yang kemudian berkegiatan di sini,” tambah Trisno.
Keberhasilan Trisno memberdayakan masyarakat untuk mengelola desa wisata berbasis budaya dan ekonomi kreatif mendapat apresiasi dari PT Astra Internasional Tbk.
Pada tahun 2015, Trisno terpilih sebagai salah satu pemenang apresiasi Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia (SATU Indonesia) Awards bidang lingkungan.
Desa Menari Tanon makin berkembang setelah mendapatkan perhatian lagi dari PT Asrtra Internasional di tahun 2016.
Dusun Tanon lalu masuk ke Kampung Berseri Astra (KBA) di akhir 2016 sekaligus menjadi KBA pertama di Jawa Tengah dan KBA ke 27 di Indonesia. Pada tahun yang sama, akhirnya Desa Menari juga masuk dalam desa wisata di Jawa Tengah.
“Dengan masuk ke KBA, ada akselerasi pengembangan Desa Menari Tanon, akses untuk pelatihan-pelatihan menjadi gampang, adanya bantuan dana juga membuat kami bisa semakin lebih berkembang,” kata Kang Tris.
Menurutnya, pengembangan di Desa Menari Tanon selaras dengan 4 pilar program KBA Astra yakni Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan & Kewirausahaan.
Dari aspek pendidikan, Trisno mengakui setelah masuk KBA, akses untuk pelatihan bagi para penduduk desa lebih mudah, sehingga perubahan mindset para warga Tanon bisa lebih progresif.
“Selain itu dari Astra juga mempercayakan paket beasiswa untuk jenjang SD sampai kuliah, jadi akses pendidikan terbuka lebar bagi generasi penerus kami,” kata Kang Tris.
Sisi lain, kesehatan, dengan majunya Desa Menari Tanon, dana untuk fasilitas kesehatan warga makin bertambah.
“ Kas outbond ndeso itu kami gunakan untuk dana sosial menjenguk orang sakit, untuk pelayan pemeriksaan kesehatan berkala dan ditambahi dengan bantuan vitamin dan alat-alat kesehatan dari Astra,” papar Trisno.
Kemudian dari aspek lingkungan, pembangunan Kandang Edukasi yang digunakan untuk belajar pengelolaan ternak dari hulu hingga hilir juga tengah dalam proses, ditambah dengan perintisan pertanian organik.
Satu lagi, sambung Trisno, yang juga mulai berubah di Tanon adalah semangat kewirausahaan warga Tanon.
“ Ketika ada kegiatan besar, biasanya kami juga membuka Pasar Srawung, pasar yang isinya menjual barang-barang kerajinan dan makanan-makanan khas Dusun Tanon yang bisa menambah pemasukan warga Tanon” kata dia.
Menurutnya, semua kegiatan Desa Menari bisa memberikan pendapatan tambahan ke penduduk desa hingga 10 persen tanpa menghilangkan profesi asli mereka.
Kemandirian secara ekonomi juga mulai diwujudkan dengan memberikan bantuan dana kepada kelompok usaha tahu dengan pinjaman dana tanpa bunga.
Adalah kelompok usaha pembuatan tahu yang menjadi kelompuk usaha pertama yang diberi pinjaman lunak dan tanpa bunga dari kas Desa Menari.
Desa Menari jadi Gerbang Pemberdayaan
Trisno mengatakan laboratorium sosialnya dengan jenama Desa Menari menjadi gerbang utama pemberdayaan masyarakat di Dusun Tanon khususnya, dan juga Desa Ngrawan pada umumnya.
“ Desa Menari ini memang jadi pintu masuk kami, kalau pemberdayaan diibaratkan rumah, maka Desa Menari adalah pintu masuknya, dari situ bisa menimbulkan efek ke peningkatan ekonomi warga, wirausaha, dan yang paling penting ada perubahan pola pikir warga,” kata Trisno.
Trisno mengakui dahulu dusunnya termasuk dalam daerah dusun tertinggal, namun kini sudah dalam taraf menuju mandiri.
“ Sekarang dengan pemasukan dari Desa Menari bisa untuk membangun gapura, pelebaran jalan dan bangun panggung terbuka, tapi yang lebih penting lagi adalah mindset penduduk sudah banyak berubah,” urai Kang Tris.
Ia memberikan contoh dahulu penduduk dusun, sekolah paling hanya sampai SD, setelah itu bekerja membantu orang tua di ladang dan kandang.
Sekarang, kemauan untuk mengenyam pendidikan tinggi sudah mulai terbuka.
“ Sekarang yang lanjut ke SMP, SMA bahkan kuliah sudah banyak, didukung dengan adanya beasiswa dari Astra juga,” terangnya.
Trisno menambahkan, di tengah pandemi Covid-19 ini kegiatan di Desa Menari tetap berjalan seperti biasa.
“ Pemberdayaan jalan terus, kami tetap adakan diskusi dengan warga, kegiatan peternakan dan pertanian juga jalan, karena ketika ada wisatawan yang berkunjung, pada dasarnya kami juga hanya melakukan kegiatan sehari-hari, beternak, berladang seperti biasa, bedanya ada wisatawan yang ikut, itu saja, selama pandemi tak ada wisatawan tak masalah,” ujarnya.
Trisno menegaskan, jumlah wisatawan bukan tujuan utama di Desa Menari, meski rata-rata sekitar 3.000 wisatawan yang terdiri dari wisatawan domestik maupun luar negeri datang tiap tahunnya.
Desa Menari menjaga kualitas, dengan tujuan utama masyarakat terus tumbuh, berkembang, terbuka, dan masyarakat menjadi lebih berdaya.
“ Yang saya lakukan ini baru menyemai benih, anak kami nanti yang menanam , cucu kami yang menumbuhkan, cicit kami yang menyiangi, dan canggah kami mungkin baru yang panen, intinya pemberdayaan tidak akan berhenti, bahkan visi Desa Menari itu melampaui umur fisik manusia,” kata Trisno.
“ Bagi saya pemberdayaan itu tak ada selesainya, harus terus berkelanjutan, oleh saya, anak saya nanti, cucu, cicit, canggah dan seterusnya, desa harus terkelola dengan baik untuk bisa memajukan Indonesia, dan itu dimulai dari anak-anak muda di desa itu sendiri,” ujar pria 39 tahun ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (ASITA) Jawa Tengah, Daryono mengatakan konsep wisata yang dikembangkan di Desa Menari adalah tren wisata di masa depan.
“ Sekarang ini tren wisata sudah bukan hanya to see, tapi sudah bergeser ke to experience, ingin merasakan, terlibat secara langsung, kalau dulu lihat orang menari saja, sekarang sudah bergeser ke ikut latihan menari, tahu filosofinya dan sebagainya” ungkap Daryono.
Sehingga konsep wisata dengan terjun langsung ke kehidupan masyarakat menjadi satu di antara konsep experience tourism yang patut dikembangkan.
Dipandang dari sisi bisnis, konsep wisata Desa Menari menjadi community based tourism, wisata yang melibatkan masyarakat lokal yang muaranya ke peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
“Bahkan seperti itu mereka tidak membutuhkan modal, karena wisatanya ya di rumah sendiri, di kandang sendiri, jadi keuntungannya bisa dikembalikan sepenuhnya ke masyarakat, mereka mungkin tak butuh investor,” jelasnya.
Daryono juga menyatakan experience tourism memiliki satu keunggulan lagu, yakni tidak bisa dikunjungi hanya sesaat atau long term tourism.
“Artinya tidak hanya satu hari, itu berkelanjutan, misalnya hari ini aktivitas di dapur mengenal masakan tradisional, lalu berkebun, dilanjutkan besok hari beternak dan belajar menari, secara bisnis akan bagus karena berlangung beberapa hari dan berimbas ke pemasukan warga juga yang makin besar,” tutupnya. (*)