News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ketum BP Institute: Adat Istiadat dan Keseharian Masyarakat Ambalu Sangat Pancasilais

Editor: FX Ismanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum BP Institute A Bayu Putra, kunjungi Pulau Ambalau, di Kabupaten Buru Selatan Provinsi Maluku, beberapa waktu lalu. Keindahan Ambalau pemandangan air sangat bening sebening kaca dan ada ikan sangat banyak dan bahkan beberapa hewan yang langka seperti penyu seakan tidak takut dengan kehadiran manusia.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seperti kesepakatan ketika awal-awal Republik ini berdiri bahwa yang menjadi dasar negara adalah Pancasila. Bahkan hingga kini tetap kukuh dipertahankan dan jaga kesakralannya karena sudah dianggap sebagai alat pemersatu bangsa.

Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya untuk dihafal dan di ingat, tetapi nilai-nilainya perlu diamalkan dan diterapkan dalam keseharian kita bermasyarakat dan bernegara.

Nun jauh di belahan timur Indonesia, tepatnya di desa Elara yang berada di sebuah pulai kecil bernama Ambalau, Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku, sesungguhnya masayarakatnya benar-benar sudah mengamalkan dari butir-butir Panca Sila. Hal ini dikisahkan oleh A Bayu Putra, Ketua Umum BP Institute.

"Sebelum sampai ke tatanan keseharian masyarakat, saya ceritakan dulu kekaguman perjalanan saya dari kota ambon menuju Pulau Ambalu. Perjalanan dari Ambon saya tempuh selama 6 jam dengan menaiki kapal cepat Elisabeth. Begitu turun kapal perasaan saya sedikit bergetar, air sebening kaca dan ikan-ikan  sangat banyak jauh dari kontaminasi. Sesekali terlihat batuan andesit berpadu dengan jernih nya air laut. Ini sungguh pemandangan yang menakjubkan buat saya. Apalagi terlihat juga binatang langka seperti Penyu yang tidak takut dengan kehadiran saya," jelas Bayu di Jakarta pada Senin, (25/01/2020).

Pulau Ambalau Maluku. (TRIBUNNEWS.COM/IST/HO)

Selanjutnya Bayu menambahkan bahwa ia banyak mendengar cerita dari masyarakat setempat  tentang adat istiadat yang ada di pulau ini.

"Selama seminggu saya tinggal disana,  banyak diceritakan tentang adat istiadat, dan kehidupan sosial masyarakat pulau ini. Disini saya seperti belajar lagi tentang Pancasila dan  diingatkan lagi tentang hubungan manusia sebagai bagian dari bumi," tambah Bayu.

Kebiasaan atau keseharian adat istiadat masyarakat di sini memenga menjadikan Bayu terkesan. Banyak hal yang menjadi pengalaman luar biasa dan berkesan baginya, terutama bingkai-bingkai adat yang mengikat kehidupan masyarakat disana seperti Sasi dan Moshi. lalu apa Sashi dan Moshi itu?, Bayu kembali menjelaskan.

"Sasi adalah keputusan dari tetua adat untuk menutup hal hal yang dianggap sudah tidak seimbang, contohnya di Tanjung Leana tempat saya tinggal kena SASI untuk tidak mengambil pasir putih, di desa Siwar ada sasi untuk mengambil kelapa, desa Masawoi sasi menangkap lobster,bia dan teripang.Di desa Lumoi menerapkan sasi pala dan cengkeh untuk waktu tertentu sehingga kualitasnya akan terjamin,sasi itu juga mengikat dengan pembelinya dimana Pengepul dilarang membeli di dalam sasi tersebut," jelas Bayu lagi.

Pulau Ambalau Maluku. (TRIBUNNEWS.COM/IST/HO)

Selain Sasi ada juga Mosi, lalau apa makna dari Mosi itu, Bayu melanjutkan penjelasannya.

"Di pulau ini semua dilakukan bersama sama atau gotong royong dalam bahasa sini masohi, dan yang sangat membuat saya ternganga adalah pembuatan kebun. Disini hama utama kebun adalah babi hutan yang sangat banyak, walaupun terkadang ada dari pulau buru atau pulau2 yg lain yg beragama kristen pergi berburu disini tetapi tetap populasi babi sangat luar biasa banyak," jelas Bayu lebih lanjut.

Hal unik dan luar biasa yang dilakukan masyarakat di sana  untuk mengatasi hama tersebut penduduk desa memilih membuat ladang mereka dipagar oleh tembok setinggi 1,5 - 2 m. Sementara ladang mereka sangat luas-luas, jadi menurut kesan Bayu seakan  melihat tembok China di gunung2.

hal lain yang menjadi kekaguman bayu, bagaimana mereka bisa membangun itu. Ternyata kuncinya adalah dikerjakan bersama karena mereka menganggap setiap kebun yg berdiri berarti tambah lagi lahan bersama yg bisa di olah. Gotong royong yang sangat membutuhkan komitment dan kerja keras.

Tak hanya soal adat istiadat dan hubungan manusia dengan alam saja yang menjadi kesan bayu selama mengunjungi pulau Ambalu ini. Ia juga mngagumi bagai mana masyarakat setempat melakukan hubungan dengan Tuhannya serta bagaimana bertoleransi.

Di pulau ini membuat masjid yang besar dan indah merupakan impian dan tujuan bersama, sehingga banyak sekali usaha2 dari penduduk dengan tujuan tersebut seperti iuran, sasi dan banyak lagi dan yang paling utama adalah gotong royong dalam melaksanakannya.

Pembuatan masjid disini pun dilarang meminta2 pihak luar dengan proposal atau apapun sehingga membuat  semua potensi desa maupun penduduk mengarah kesana," terang Bayu penuh kagum.

Tukang kayu akan membuat kusen2 dan pintu terbaik, tukan batu akan membuat tembok terkokohnya bahkan ada kiriman tambahan tenaga kerja dari desa sebelah2 nya apabila dibutuhkan, semuanya adalah gotong royong dan keputusan adat yang ketat dan mengikat.

"Semu penduduk pulau ini Patuh dan mengikuti dengan ikhlas keputusan tetua tanpa mengeluh seolah ini adalah takdir mereka. Kehidupan keagamaan tercermin dari kehidupan sehari2. Jangan harap melihat anak muda minum minuman keras bahkan mabuk. Karena disini minumam paling keren untuk nongkrong adalah susu kental manis. Sedang minuman keras merupakan kejahatan yang besar", jelas Bayu selanjutnya.

Lalu dimana toleransinya kalau seluruh pulau beragama muslim yang taat?.  Kata kuncinya adalah cerita nenek moyang.

"Penduduk Ambalau menganggap penduduk pulau Nusa Laut yang seluruhnya kristen adalah kakak. Kedua pulau ini mempunyai keyakinan bahwa nenek moyang mereka ada kakak beradik, sang kakak beragama kristen dan menetap di Nusa Laut,  sedangkan sang adik menetap di ambalau dan beragama muslim. Sehingga panggilan untuk orang pulau Nusa Laut adalah kakak. Sungguh indah dan mendasar," pungkas Ketum BP Instutute Bayu.

Kesan terakhir dari Bayu adalah, bahwa di Pulau  Ambalau Pancasila sudah tidak dikatakan bahkan mungkin mereka bias dengan butir2nya yg banyak, tetapi disini Pancasila seperti sudah mengakar dengan adat istiadat kehidupan sehariihari. Dimana keterwakilan diatur dengan bijaksana oleh para tetua adat.

Hal seperti itu seolah mengingatkan dirinya tentang  petuah Bung Besar , bahwa Pancasila hasil menggali dari kepribadian bangsa.  Bukan di ciptakan, tetapi menggali . Disini walaupun terlihat tidak ada benang merah dari penciptaan Pancasila, tetapi kehidupan semua bernafaskan Pancasila.

Rasa hormat yang setinggi-tingginya pun disampaikan Bayu buat para Penggali Pancasila yang nampak mengerti betul apa yang terjadi dan nafas kepribadian bangsa ini sesungguhnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini