Laporan Wartawan Tribunnews.com, Domu D. Ambarita
TRIBUNNEWS.COM - Wiwin (32 tahun) duduk bersila di lantai beralas karpet warna hijau.
Ia mengenakan kaus T-shirt warna pink, dan celana pendek motif bunga warna hijau.
Dua putrinya, masing-masing usia 2,5 tahun dan 3,5 tahun duduk di dekatnya sambil menunggu nasi yang disuapkan sang ibu.
Di samping kanan Wiwin, duduk Adiasah (33 tahun), bersama dua anak laki-laki usia 8 dan 15 tahun.
Bersama mereka, Senin (24/12/2018), sebanyak 20-an orang sebagian besar bayi usia di bawah lima tahun, dan anak-anak bersama ibu-ibu. Mereka tampak guyub, duduk bersama-sama, seperti membentuk linkaran di dalam gedung berukuran kurang lebih 4 x 5 meter.
Tidak tampak barang-barang semacam perabot, perlatan listrik. Tas atau koper pakaian pun tak terlihat di ruangan ini.
Di luar gedung, hanya terlihat puluhan pasang sandal dan sepatu berserak.
Puluhan orang ini adalah korban tunami yang terjadi di Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018) malam.
Baca: Panik Dengar Info Tsunami Susulan, Ribuan Warga Pesisir Lampung Timur Lari ke Bukit
Mereka berasal dari Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Permukiman mereka berada di pantai, bibir laut.
Mereka mengungsi sejak kejadian, sebelumnya berkumpul posko pengungsi di pekarangan Radio Krakatau. Sejak Senin (24/12/2018) pagi, ditampung di Terminal Narogong.
Wiwin dan Adiasah, mengaku pengungsi kekurangan bahan makanan dan pakaian.
"Sebab saat kejadian, kami menyelamatkan diri secara mendadak, jadi tidak sempat membawa apa-apa dari rumah," kata Wiwin.
Hingga hari ketiga pasca-tsunami yang melanda dua provinsin, Lambung dan Banten, keluarga mereka belum mengecek kondisi rumah.
"Belum ada yang pulang. Takut terjadi tsunami lagi," kata Adiasah, dan dibenarkan Wiwin.