TRIBUNNEWS.COM - Masih diperbolehkannya pembukaan lahan dengan membakar sesuai UU nomor 32/2009 memicu beragam interpretasi dan terkadang menjadi polemik karena dianggap melemahkan upaya pencegahan karhutla.
Meskipun dalam peraturan tersebut diatur berbagai syarat sebelum diperbolehkannya membakar lahan, diantaranya maksimal 2 hektare per kepala keluarga masyarakat adat, diperuntukkan untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal, dan dilakukan dengan menerapkan sistem sekat bakar sebagai upaya pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Namun pada beberapa kasus tertentu, celah aturan ini justru dimanfaatkan dan ditunggangi oleh oknum pembakar hutan tertentu untuk lolos dari jerat hukum.
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupaya untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut dengan langkah afirmatif dan kolaboratif yang diawali dengan mendengarkan pandangan dari berbagai pihak, seperti perwakilan masyarakat adat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), anggota DPR dan DPRD, hingga para perwakilan kementerian/lembaga
Untuk itu, KLHK menggelar Focus Group Discussion (FGD), yang bertajuk "Solusi Kearifan Lokal dalam Pembukaan Lahan <2 Hektare dengan Cara Membakar". FGD ini dilakukan secara virtual pada Selasa (14/7/2020) pagi.
Wakil Menteri LHK, Alue Dohong memimpin jalannya FGD tersebut, dalam sambutannya dia menjelaskan bahwa penggunaan api untuk kegiatan pembersihan lahan untuk perladangan merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah terjadi dan dipraktekkan secara turun temurun oleh masyarakat adat di Nusantara khususnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Praktek pembakaran lahan yang dilakukan masyarakat adat menurutnya harus ditempatkan dalam kontek regulasi yang tepat agar kearifan lokal yang terbukti memiliki efek positif untuk membantu proses keterjaminan dan ketahanan pangan dan konservasi hayati, tidak disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung untuk membakar lahan secara masif yang merugikan kepentingan umum.
"Kita harus segera menyusun naskah kebijakan untuk memperbaiki dan mempertegas pengaturan pembukaan lahan dengan cara bakar ini, agar menjadi bagian solusi permanen pencegahan karhutla seperti yang diinstruksikan Bapak Presiden," ujar Wamen Alue.
Menanggapi diskusi, Willy M Yoseph, Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Dayak Nasional (ICDN) yang juga Anggota DPR RI Komisi VII menyatakan rumusan dan kesimpulan hasil FGD dapat dijadikan masukan untuk revisi UU yang mengatur tentang diperbolehkannya membakar lahan secara terbatas oleh masyarakat.
"Kami siap untuk membantu melalui proses revisi undang-undang. Ini yang paling pas untuk kita, bicara panjang lebar harus ada muaranya, agar masyarakat dapat terbantu." ujarnya.
Kemudian di dalam diskusi yang dihadiri sekitar 70 orang dan 34 orang diantaranya yang berbicara memberikan pendapat diperoleh beberapa rumusan diskusi. Salah satu isu yang mencuat adalah perlu antisipasi terhadap para oknum yang mengatasnamakan masyarakat adat untuk melakukan pembakaran lahan.
Beberapa pembicara meminta agar kearifan lokal masyarakat tidak dilarang bukan karena kesalahan masyarakat, namun lebih karena kebijakan pemerintah yang mengatur terkait hal tersebut belum kuat, sehingga rawan menimbulkan celah hukum.
Menutup diskusi, Wamen LHK menyimpulkan bahwa secara umum para pembicara menyetujui jika sistem perladangan tradisional dengan teknik pembakaran oleh masyarakat adat perlu terus dilanjutkan, namun dengan catatan harus ada adaptasi, inovasi-inovasi dan teknologi agar meminimalisir dampak terhadap bencana karhutla.
Wamen LHK pun menyampaikan kesimpulan hasil diskusi yang memuat pendapat dan masukan dari para narasumber tadi, diantaranya yaitu diperlukan adanya kebijakan khusus Pemerintah terkait penetapan wilayah perladangan tradisional yang diintegrasikan dalam RTRWP/RTRWK pada masing-masing daerah yang masih memiliki tradisi dan mempraktekan perladangan tradisional.
Selanjutnya perlu adanya kegiatan pemetaan wilayah berbasis tipe ekosistem (Lowland & Upland), inventarisasi sebaran spasial dan jumlah peladang tradisional termasuk jenis komoditas yang dibudidayakan, teknologi serta kearifan yang dipakai di dalam praktek perladangan tradisional, dalam rangka penyusunan basis data (database) yang lengkap dan sahih terkait perladangan tradisional.
Kemudian perlu adanya peningkatan dan penguatan program dan anggaran, pemberdayaan, introduksi dan alih teknologi pengolahan lahan tanpa bakar (PLTB), akses kelola hutan, pendampingan instensif dan lain-lain dari pemerintah, swasta dll yang lebih berpihak pada kelompok peladang tradisional.
Berikutnya perlu dukungan dan pembuatan petunjuk-petunjuk teknis dan prosedur operasi standar (SOP) tentang pengolahan & peningkatan produktivitas lahan agar diintroduksi & diaksentuasikan kepada peladang tradisional.
Selain itu peserta diskusi pun meminta agar kegiatan perladangan tradisional selama ini tidak dimaknai secara sempit untuk budidaya padi semata, melainkan kegiatan tersebut berkontribusi positip terhadap konservasi dan keragaman genetik (padi, sayuran dll), kultural pertanian dam bagian jati diri budaya bangsa, kekayaan intelektual tradisional yang seyogianya diproteksi dan diakomodasi serta tidak dapat dihilangkan atau dimusnahkan begitu saja.
Sebagai tindak lanjut FGD ini, Wamen mengatakan akan membentuk tim khusus terkait untuk menyusun narasi kebijakan terkait perladangan tradisional.
"Kita mungkin akan melibatkan perwakilan bapak ibu sekalian yang hadir pada diskusi ini untuk masuk dalam tim," tambahnya.
Wamen pun meminta kepada para pembicara agar memberikan masukan teknis dan saintifik atas fakta dan data yang tadi diungkapkan dalam ruang FGD. Masukan tersebut menurutnya akan sangat berguna untuk memperkuat narasi kebijakan yang akan disusun, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan yang baik bagi pemerintah pusat dalam menelurkan kebijakan terkait hal ini nantinya. (*)