TRIBUNNEWS.COM - Indonesia, dengan proposal bertajuk “REDD+ Results-Based Payment (RBP) untuk Periode 2014-2016”, akan menerima dana dari GCF sebesar USD103,8 juta1 yang akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Sidang Dewan GCF ke-26 pada tanggal 18-21 Agustus 2020 menyetujui proposal pendanaan REDD+ Indonesia sebagai penerima pendanaan terbesar, melampaui proposal Brasil yang telah disetujui sebelumnya senilai USD96,5 juta2 di bawah program percontohan REDD+ RBP GCF.
Baca: Kisah Tiga Malaikat Kecil yang Berjuang Melawan Sakit
Program percontohan untuk REDD+ RBP dari GCF ini dimulai pada tahun 2017 dan akan berlangsung sampai dengan tahun 2022. Indonesia merupakan negara kelima yang berhasil mengakses program percontohan senilai USD500 juta ini3.
REDD+ merupakan inisiatif global dengan desain pemberian insentif kepada negara berkembang untuk menanggulangi deforestasi dan degradasi hutan yang merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Selain skema REDD+ RBP dari GCF, tersedia fasilitas sejenis seperti Letter of Intent Indonesia - Norwegia mengenai kerjasama pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, dan Forest Carbon Partnership Facility dari Bank Dunia.
Sektor lahan berkontribusi sebesar 59% target pengurangan emisi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC). Skema REDD+ memiliki cakupan yang luas termasuk konservasi, manajemen hutan lestari, dan peningkatan stok hutan karbon sehingga dapat mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang juga akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat. REDD+ juga mementingkan keterlibatan masyarakat, masyarakat adat dan komunitas tradisional sebagai pemangku kepentingan yang harus dipastikan jaminan haknya untuk tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Baca: Sempat Ditolak di Rumah Sakit, Katarak Nenek Ratmah Kini Bisa Diobati
Proposal yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia untuk periode 2014-2016, dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2eq). Saat ini, Indonesia menggunakan baseline perhitungan rata-rata emisi tahunan sektor lahan sejalan dengan Panduan Praktik yang Baik untuk Penggunaan Lahan yang diterbitkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Indonesia akan menggunakan dana untuk penguatan koordinasi, implementasi, dan arsitektur REDD+ secara keseluruhan, dukungan tata kelola hutan lestari yang terdesentralisasi melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Hutan Desa, serta pengelolaan proyek. Pengelolaan dana RBP dari GCF dan Norwegia menunjukkan kepercayaan internasional terhadap BPDLH, yang diharapkan menjadi badan nasional terbesar untuk mendorong pembiayaan lingkungan hidup.
Dalam penggunaan dana RBP ini, KLHK bekerja sama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). KLHK akan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan dan menghasilkan keluaran yang disepakati oleh kedua belah pihak, sesuai dengan alokasi dana yang diatur dalam proposal, seperti untuk upaya penurunan deforestasi, pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penegakan hukum dan mendukung rehabilitasi hutan dan lahan sebagaimana arahan Presiden RI. Kemenkeu akan bertanggung jawab dalam mengelola, memantau dan mengevaluasi kinerja proyek untuk memastikan penggunaan sumber daya GCF secara efektif melalui BPDLH.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, “Kerja keras selama satu dekade dalam melestarikan hutan dan menghindari deforestasi telah menuai hasil melalui pembayaran berbasis kinerja dari Norwegia dan GCF. Namun, usaha kita tidak bisa berhenti sampai di sini. Pencapaian ini akan berkontribusi terhadap upaya pembangunan rendah emisi, dan sebagaimana diamanatkan oleh Bapak Presiden, juga untuk pemulihan lingkungan berbasis masyarakat.”
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyatakan, “Kita senang Menteri LHK dan tim, berhasil mendapatkan pengakuan sebesar USD103,8 juta, bahkan lebih besar dari proposal Brasil dengan Amazon-nya (senilai USD 96,5 juta). Terimakasih KLHK sudah menunjukkan pada dunia, bahwa Indonesia tidak hanya berkomitmen terhadap perubahan iklim, tapi ditunjukkan dengan capaian konkrit dalam bentuk pembayaran ini. Semoga ini menjadi momentum agar terus digunakan untuk meningkatkan keterlibatan dan dukungan dari semua pihak terkait proposal dari Indonesia yang diajukan ke GCF.”
Lebih lanjut, Menkeu mengungkapkan bahwa pendanaan yang diterima oleh Indonesia ini dapat membantu APBN untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim.
Baca: Menuju Kota Modern, Semarang Sajikan Mall dengan Atap Pemandangan Biota Laut
“Pendanaan yang diterima oleh Indonesia ini dapat membantu APBN untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim. Hasil dari Climate Budget Tagging (CBT) menunjukan masih terdapat celah antara kebutuhan pendanaan perubahan iklim nasional dengan anggaran perubahan iklim yang telah dialokasikan dari APBN,” ujar Menkeu.
Sri Mulyani juga mengutarakan harapannya agar momentum ini terus digunakan untuk meningkatkan keterlibatan dan dukungan dari semua pihak terkait proposal dari Indonesia yang diajukan ke GCF.
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) KLHK memimpin penyusunan proposal REDD+ RBP kepada GCF melalui kerja sama berbagai pihak termasuk organisasi internasional. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan selaku National Designated Authority (NDA) GCF melakukan penelaahan dan memberikan No Objection Letter (NOL) serta menyampaikan proposal kepada GCF, yang disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) selaku Accredited Entity (AE/entitas terakreditasi) bersama mitra kerja lainnya, Global Green Growth Institute (GGGI) yang menyusun Concept Note awal.
Persetujuan GCF ini merupakan sebuah berita baik, namun Indonesia masih membutuhkan lebih banyak pendanaan perubahan iklim untuk mencapai target NDC. Komitmen negara maju untuk pendanaan perubahan iklim sebesar USD100 miliar per tahun sampai tahun 2020 untuk mendukung negara-negara berkembang perlu direalisasikan dengan segera.