TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Perhubungan cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalui Direktorat Perkapalan dan Kepelautan mengikuti Sidang International Maritime Organization (IMO) terkait Marine Environment Protection Committee (MEPC) ke-76 yang akan berlangsung selama 6 (enam) hari secara virtual.
Direktur Perkapalan dan Kepelautan yang sekaligus bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia, Capt. Hermanta mengatakan bahwa Indonesia telah mengadakan beberapa kali rapat koordinasi mengenai penyiapan bahan intervensi untuk mengakomodir semua kepentingan stakeholder nasional apabila ada dinamika baru terkait posisi Indonesia pada semua materi sidang IMO MEPC ke-76 ini.
“Selama tiga hari kemarin kita telah bahas bersama keseluruhan bahan sidang IMO MEPC ke-76 ini, tidak kurang dari 206 dokumen sidang yang merupakan usulan atau masukan dari sekretariat IMO, para anggota IMO dan organisasi non pemerintah telah kita pelajari bersama. Pada Sidang IMO MEPC ke-76 terdapat 4 agenda besar yaitu Air Pollution Prevention, Green House Gas, Ballast Water Management dan Marine Plastic Litter,” katanya saat memimpin rapat finalisasi penyiapan bahan intervensi delegasi Indonesia satu jam sebelum siding IMO MEPC ke 76 dimulai.
Adapun Anggota Delegasi Indonesia pada sidang IMO MEPC ke-76 terdiri dari perwakilan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kemenko Maritim dan Investasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian LHK, Pushidrosal TNI, KBRI London, PT. BKI Persero, PT. Pertamina dan DPP INSA.
“Pada kesempatan ini perlu kita garis bawahi bahwa sebagai negara maritim, Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam upaya perlindungan lingkungan maritim, beberapa konvensi perlindungan lingkungan maritim yang dikeluarkan oleh Organisasi Maritim Internasional telah kita ratifikasi dan telah diimplementasikan dengan peraturan nasional,” ujarnya.
Capt. Hermanta juga menyampaikan bahwa Indonesia dan beberapa negara lain yang tergabung dalam Co-Sponsor bersama Indonesia juga telah menyampaikan submisi dokumen pada Dokumen MEPC 76/7/20, dimana Indonesia memberikan komentar terhadap proposal International Maritime Research and Development Board (IMRB) yang merupakan pengajuan bersama Argentina, Brazil, Chili, China, Ekuador, India, Indonesia, Maroko, Arab Saudi, Afrika Selatan dan Uni Emirat Arab dan pada dokumen Dokumen MEPC 76/7/25 yang merupakan pengajuan bersama Indonesia, Rusia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, ICS, INTERTANKO, IPTA, dan WSC.
Dokumen ini mengomentari dokumen MEPC 76/7/5 mengenai “Report of the Correspondence Group on the Development of Technical Guidelines on Carbon Intensity Reduction (TOR 2)” yang dikirim oleh China, Jepang dan Uni Eropa dengan usulan memberikan pengecualian perhitungan Carbon Intensity Indicator terhadap kapal yang berlayar pada kondisi cuaca yang buruk sehingga menghindarkan kapal mendapatkan sanksi apabila tidak konsisten menerapkan energi efisiensi.
Khusus Terkait dengan agenda penurunan gas rumah kaca (Green House Gas) Delegasi Indonesia menyampaikan posisi (bargaining position) Indonesia pada konsep CO2 reduction rate untuk mencapai target CO2 emisi reduction 40% tahun 2030. Dimana Pada sidang IMO MEPC ini terjadi pembahasan yang alot terkait aksi jangka pendek untuk mencapai initial strategi IMO terkait pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 40% di tahun 2030.
Indonesia bersama negara-negara berkembang lainnya memperjuangkan angka reduction yang implementatif, sementara negara-negara Eropa mendorong komite menyetujui reduction rate yg ambisius untuk memastikan pemenuhan target tahun 2030,
Beberapa negara Eropa telah menyampaikan ambisinya untuk menerapkan reduction rate minimal 22% mulai tanggal 1 Januari 2026, namun Indonesia dan beberapa negara berkembang lebih memilih Langkah yang implementatif dengan nilai reduction rate minimal 10%. Setelah setiap negara anggota menyampaikan pandangannya, dan pada akhir diskusi pada sesi ini ketua sidang memutuskan IMO akan menerapkan angka CO2 reduction yg implementatif dan hal ini sejalan dengan posisi Indonesia, yaitu menerapkan reduction rate yang non linier hingga tahun 2030.
“Alhamdulillah Indonesia bersama dengan negara yang mendukung CO2 reduction rate yang implementatif berhasil mengungguli negara-negara Eropa (menang tipis) yang kemudian hasilnya langsung diputuskan untuk diadopsi,” jelasnya.
Untuk diketahui bersama bahwa untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 40% di tahun 2030, maka kapal-kapal lama wajib menerapkan energi efisiensi dengan berbagai metode yang harus dipenuhi pemilik kapal.
Metode tersebut diantaranya adalah melakukan retrofit pada sistem permesinan kapal, penyesuaian tipe propeller kapal, penerapan sistem anti teritip, perencanaan pembersihan lambung kapal yang lebih baik, dan metode lainnya untuk memenuhi persyaratan energi efisiensi.
Delegasi Indonesia memandang ambisi pemenuhan reduction rate minimal 22% mulai tanggal 1 Januari 2026 akan memberatkan para pemilik kapal terutama di masa pandemi Covid-19 karena banyak sektor usaha yang terkena dampak termasuk di sektor usaha pelayaran.
“Tentunya semua keputusan yang kita perjuangkan pada setiap pertemuan baik di tingkat bilateral, regional maupun internasional selalu kita dasarkan pada kepentingan nasional Indonesia, termasuk dalam setiap perjuangan kita melalui sidang-sidang internasional sebagaimana yang akan kita ikuti saat ini,” tutup Capt. Hermanta.