News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jelang Pemilu 2024, Wakil Ketua MPR RI Berharap Penyebaran Hoaks Politik Harus Dicegah

Editor: Content Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat

TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan, eskalasi penyebaran hoaks dalam kehidupan sosial masyarakat harus segera dicegah. Hal itu dilakukan demi keberlangsungan proses pembangunan nasional yang lebih demokratis. 

"Tak bisa dipungkiri menjelang tahun politik banyak informasi salah yang menggiring opini publik demi tujuan yang diinginkan kelompok tertentu," ungkap Lestari dalam keterangan persnya, Kamis (25/5/2023). 

Hal itu diungkapkan Lestari Moerdijat dalam sambutannya pada acara diskusi dalam jaringan (daring) dengan mengusung tema “Mengantisipasi Hoaks di Tahun Pemilu” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/5/2023). 

Adapun diskusi yang dimoderatori oleh Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Luthfi Assyaukanie, Ph.D itu turut dihadiri oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI Dr. Usman Kansong, S.Sos., M.Si, Pakar Komunikasi Politik dan Dosen Komunikasi Universitas Airlangga Dr. Suko Widodo, Drs., M.Si, dan Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini sebagai narasumber. 

Selain itu hadir pula Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan CEO Tempo Digital Wahyu Dhyatmika sebagai penanggap. 

Lestari menjelaskan, Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengungkapkan bahwa sejak awal 2023 telah mendeteksi ada kenaikan jumlah hoaks politik, yakni ada 664 hoaks pada triwulan I 2023. Adapun angka itu menunjukkan telah terjadi kenaikan sebesar 24 persen dari periode yang sama tahun lalu. 

“Indikasi maraknya informasi yang tidak benar atau hoaks jelang pemilu ini harus dihadapi dengan serius oleh para pemangku kebijakan dan masyarakat di negeri ini,” ujar Lestari. 

Perempuan yang akrab disapa Ririe ini mengatakan, kemajuan teknologi informasi yang terjadi saat ini tidak diiringi dengan literasi yang mampu mengimbangi perkembangan teknologi yang terjadi. 

Dengan demikian, tambahnya, menjelang tahun pemilu selalu menjadi ajang untuk penyebaran propaganda dari kelompok tertentu demi kepentingan kelompoknya. 

“Propaganda merupakan fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bahkan pada Babad Tanah Jawa yang baru terjadi pembelokan sejarah,” ucapnya. 

Menjelang pemilu, lanjut Ririe, penyebaran propaganda serupa juga terjadi dengan adanya dukungan teknologi informasi yang lebih maju. 

“Maka dari itu, kami berharap segenap anak bangsa mampu mengedepankan semangat memperkokoh persatuan dan kesatuan agar transisi demokrasi melalui pemilu di negeri ini bisa berjalan dengan suasana sejuk dan damai,” harapnya.  

Direktur Jenderal (Dirjen) Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI Usman Kansong berpendapat bahwa disinformasi politik menyebabkan menurunnya praktik demokrasi di Indonesia. 

Ia menambahkan, menjelang pemilu disinformasi politik cenderung meningkat, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019. Untuk mengatasi hal itu, Usman mengungkapkan, pihaknya melakukan langkah-langkah preventif, korektif hingga represif. 

“Langkah preventif dilakukan dalam bentuk upaya meningkatkan literasi digital masyarakat dan mengajak masyarakat untuk kritis terhadap informasi di media sosial  sebelum disebar. Bahkan, pada 2023, pemerintah telah menargetkan peningkatan literasi digital terhadap 25 juta masyarakat,” ujar Usman. 

Pada langkah korektif, lanjut Usman, pihaknya memakai teknologi AI untuk menyaring konten-konten negatif di media sosial. Selain itu juga patroli siber untuk mengawasi medsos selama 24 jam untuk mengidentifikasi hoaks. 

“Sedangkan pada mekanisme represif itu melibatkan para praktisi hukum untuk menyikapi konten-konten hoaks yang ditemukan. Dari itu semua, perlu adanya kolaborasi dari semua pihak untuk perang besar melawan hoaks politik, sehingga kita bisa menjaga kualitas demokrasi kita," ucap Usman. 

Pakar Komunikasi Politik dan Dosen Komunikasi Universitas Airlangga Suko Widodo berpendapat hoaks saat ini tidak lagi diutarakan dengan kata-kata yang bisa ditengarai dengan jelas, tetapi kerap dengan kata-kata halus tapi mendalam. 

Maka dari itu, Suko mendorong agar pemerintah mengoptimalkan pemberantasan hoaks dengan cara-cara melibatkan masyarakat, terutama generasi muda. Karena, menurut Suko, para pembuat hoaks itu terkoordinir. 

Dengan demikian, tidak cukup hanya dengan mengungkap fakta bahwa konten itu adalah hoaks, tetapi juga harus konsisten memproduksi konten-konten anti hoaks.

"Kampanye besar-besaran untuk melawan hoaks secara masif harus dilakukan, sehingga masyarakat menjadi kritis terhadap setiap informasi yang diterimanya," ujar Suko. 

Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengungkapkan ada sejumlah bentuk gangguan hak para pemilih dalam proses pemilu antara lain dalam  bentuk diskriminasi dalam regulasi, intimidasi dan penolakan hak pilih, serta pengacauan informasi pemilu. 

“Pemilu yang demokratis tidak bisa diwujudkan bila pemilih tidak bisa memahami atas pilihan-pilihan yang dibuat, karena sejumlah gangguan terhadap hak pilihnya,” ujar Titi. 

Titi menilai, hoaks politik merupakan kampanye jahat. Hoaks yang menyasar para pemilih dalam proses pemilu bisa berdampak ke banyak sektor, sehingga bisa merugikan negara. 

“Dalam kasus diskriminasi regulasi pada para pemilih bisa berdampak pemilihan ulang akibat terjadi inkonsistensi dalam penerapan aturan, yang mengakibatkan munculnya kerugian negara,” tambahnya. 

Pada kesempatan itu, Titi mengungkapkan sejumlah tantangan yang akan dihadapi pada penyelenggaraan Pemilu 2024, antara lain yaitu masa kampanye yang hanya 75 hari, belum adanya regulasi untuk menyikapi disinformasi yang terjadi, dan netralitas aparat penegak hukum. 

“Oleh karena itu, dibutuhkan penyelenggara pemilu yang kredibel, mandiri dan terbuka, sehingga mampu memproduksi aturan teknis yang jelas agar mampu menekan dampak disinformasi yang terjadi,” katanya. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika berpendapat dalam upaya mencegah dan mengatasi penyebaran hoaks seringkali pemerintah hanya melakukan single action dan single post.

Dalam mengatasi hoaks, Wahyu mendorong agar pemerintah juga melakukan pendekatan pada sisi narasi dan jaringan sebaran hoaks agar lebih efektif. Dia juga berharap pemerintah bisa independen dalam penanganan kasus-kasus penyebaran hoaks. 

“Upaya mencegah hoaks di negeri ini harus menjadi gerakan sosial karena hoaks sudah mencemari ekosistem kita,” ujar Wahyu. 

Pada kesempatan itu, Wahyu mengungkapkan, sebagai bagian tanggung jawab dari pengelola media siber pihaknya saat ini sedang mempersiapkan tim dengan format Whatsapp dan Telegram sebagai tempat mengklarifikasi fakta dari konten-konten yang diduga disinformasi dan misinformasi. 

Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat dalam menghadapi disinformasi yang berkembang saat ini perlu penguatan di tingkat masyarakat melalui bijak bermedsos dan peningkatan literasi digital. 

“Selain itu, perlu penguatan jurnalisme sebagai barometer kebenaran terhadap fakta di ruang publik untuk cegah meluasnya ancaman disinformasi dan misinformasi,” ujar Saur.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini