TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA, menyatakan bahwa penahanan mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, atas perintah International Criminal Court (ICC/Mahkamah Pidana Internasional) seharusnya menjadi momentum untuk menegakkan hukum yang adil dan setara.
Dirinya menekankan bahwa langkah serupa juga harus diterapkan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang lebih brutal terhadap rakyat Palestina.
“Rodrigo Duterte ditangkap oleh otoritas kepolisian Filipina dan ditahan atas perintah surat penahanan ICC. Dia ditahan karena kasus memerangi narkotika dengan dugaan melakukan kejahatan kemanusiaan ketika menjabat sebagai Presiden Filipina. Yang dia lakukan mungkin masih debatable, tetapi yang dilakukan oleh PM Israel Netanyahu secara kasat mata jelas telah dan masih melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Palestina, yang ditolak oleh lembaga-lembaga internasional seperti ICC, ICJ, Amnesty Internasional bahkan Sidang Umum PBB. Maka mengikuti prinsip keadilan dan kesetaraan hukum seharusnya Netanyahu juga bisa ditangkap dan ditahan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (13/3).
HNW, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa penangkapan dan penahanan Netanyahu harus segera dilakukan karena ia masih menjabat dan terus melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Terbaru, Netanyahu melanggar perjanjian gencatan senjata tahap kedua yang dimediasi oleh AS, Qatar, dan Mesir.
Selain itu, ia juga melarang masuknya bantuan kemanusiaan, memutus pasokan listrik serta air di Gaza selama lebih dari 10 hari, yang berujung pada krisis kemanusiaan dan berpotensi menjadi genosida terhadap lebih dari 2 juta warga Gaza.
“Bila kita bandingkan kasus Duterte dan Netanyahu, maka jelas petanya, Duterte statusnya sudah tidak lagi menjabat sehingga tidak bisa membuat masalah serupa lagi. Sedangkan, Netanyahu masih menjabat dan ketika tidak segera ditangkap dan ditahan, terbukti semakin banyak lagi kejahatan yang dilakukannya kepada rakyat Gaza/Palestina,” ujar Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Baca juga: HNW Dorong Kemenag Jemput Bola dalam Verifikasi Visa dan Kesehatan Jamaah Haji
Jika dilihat dari jumlah korban, perbandingan antara kejahatan perang dan kemanusiaan yang dilakukan Duterte dan Netanyahu sangat jauh berbeda. Duterte diminta mempertanggungjawabkan kematian sekitar 6.200 orang—meskipun ada sumber lain yang menyebutkan sekitar 1.800 korban—dalam operasi "perang" melawan narkoba yang ia jalankan.
Sementara itu, sejak 7 Oktober 2023 hingga Februari 2025, jumlah korban tewas akibat tindakan Netanyahu telah mencapai 48.189 orang, mayoritas adalah warga sipil, termasuk perempuan, anak-anak, tenaga medis, serta jurnalis. Selain itu, lebih dari 110.000 orang mengalami luka-luka, dan banyak infrastruktur penting seperti rumah sakit, masjid, serta gereja turut hancur. Bahkan setelah gencatan senjata diberlakukan pada akhir Januari, Israel masih menewaskan 137 warga Gaza.
“Bila kita memerhatikan perbandingan jumlah dan jenis korban tersebut, maka sudah selayaknya bila ICC lebih mengupayakan untuk melakukan penahanan terhadap Netanyahu dan kawan,” tukasnya.
HNW berharap agar surat penahanan terhadap Netanyahu yang telah dikeluarkan oleh ICC sejak 21 November 2024 dapat benar-benar dijalankan, dan bukan sekadar sebagai ‘macan kertas’. Meski begitu, HNW juga menyadari bahwa penangkapan terhadap Netanyahu dapat dilakukan oleh otoritas kepolisian di negara-negara anggota ICC (negara anggota Statuta Roma) di mana Netanyahu berada.
“Pesan ini harus diutarakan agar masing-masing otoritas kepolisian di negara anggota Statuta Roma itu siap menangkap Netanyahu dan menyerahkan ke ICC, begitu dia melintas di negara tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, HNW juga memahami bahwa Indonesia memang bukan negara anggota ICC atau belum meratifikasi Statuta Roma sebagai dasar pembentukan ICC. Namun, demi melaksanakan alinea ke 4 Pembukaan UUD NRI 1945, bukan berarti pemerintah Indonesia tidak bisa bertindak agar Netanyahu harus segera ditangkap dan ditahan di ICC.
Ia menyarankan agar pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu), menyampaikan pernyataan bahwa kasus Netanyahu ini menjadi momentum sebagai pengujian efektivitas ICC, sehingga negara-negara yang belum meratifikasi dapat mempertimbangkan ulang untuk meratifikasi di kemudian hari.
“Berdasarkan kasus-kasus yang sudah ada di ICC selama ini, didominasi oleh kasus-kasus di Afrika, sehingga ada anggapan bahwa ada ketimpangan keadilan dan perlakuan terhadap penjahat-penjahat perang dari wilayah lain, terutama dari Barat. Kasus Netanyahu ini bisa menjadi momentum untuk membuktikan bahwa anggapan itu salah. Bila perlu pemerintah Indonesia bisa membuat ‘statement’ siap untuk meratifikasi Statuta Roma, bila memang Netanyahu bisa ditahan dan diadili di ICC,” pungkasnya. (*)
Baca juga: HNW: Pemerintah Indonesia Penting Berkolaborasi dengan Internasional untuk Pastikan Bantuan ke Gaza