TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai untuk memastikan agar pertumbuhan ekonomi nasional mampu mencapai target yang telah ditetapkan pemerintah, maka diperlukan langkah-langkah antisipasi yang tepat.
Menurutnya, pelaksanaan Pemilu mempengaruhi sejumlah aspek perekonomian nasional di tengah perlambatan ekonomi yang terjadi di sejumlah negara.
Hal ini diungkapkan saat Lestari Moerdijat membuka diskusi daring bertema Pemilu 2024 dan Masa Depan Perekonomian Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (21/2/2024).
"Pesta demokrasi tentu memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik. Pada saat yang sama kita juga tidak bisa menutup mata beberapa negara sudah mulai masuk pada masa resesi. Kita harus mampu mendeteksi sejumlah dampak dan langkah antisipasinya ke depan dengan baik," kata Lestari Moerdijat.
Legislator dari Dapil II Jawa Tengah dan Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menyebut, daya tahan belanja pascapemilu harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
Wanita yang akrab disapa Rerie itu juga membahas seputar dampak sosial yang terjadi di sejumlah daerah yang mengalami gagal panen.
Rerie menegaskan, masalah tersebut harus segera diatasi dan langkah antisipasi terhadap sejumlah dampak bencana tersebut harus dilakukan.
Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan yang tepat dalam menjawab sejumlah tantangan untuk memastikan pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional sesuai yang telah ditentukan.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Kualitas Keterampilan Perempuan Jadi Kunci Peningkatan Pariwisata di Indonesia
Diskusi daring tersebut dimoderatori oleh Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI), serta menghadirkan Shanti Shamdasani (CEO S. ASEAN International Advocacy & Consultancy /SAIAC), Mohammad Faisal, Ph.D (Direktur Eksekutif Core Indonesia) dan David Sumual (Kepala Ekonom PT. Bank Central Asia) sebagai narasumber.
Turut hadir Prof. Rofikoh Rokhim, SE, SIP, DEA, Ph.D. (Guru Besar Ilmu Perbankan dan Keuangan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia) sebagai penanggap.
CEO SAIAC, Shanti Shamdasani mengungkapkan dampak ekonomi global yang melemah juga sudah mengimbas ke negara-negara ASEAN, misalnya Thailand yang sudah tidak mencapai target pertumbuhan GDP.
Ekonomi global, menurut Shanti, sangat dipengaruhi oleh aspek perubahan iklim dan krisis geopolitik di sejumlah kawasan.
Shanti menilai, perekonomian Indonesia harus mampu tumbuh 6-7 persen untuk mengantisipasi gejolak pada ekonomi global, dampak perubahan iklim dan potensi bencana alam.
Dia menyarankan Indonesia untuk fokus pada pengembangan domestik dalam upaya mendorong laju perekonomian, serta stabilitas harga komoditas harus mampu dijaga dengan pendekatan yang tepat.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Risiko Adiksi Gawai Terhadap Anak Harus Segera Diatasi
Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal berharap siapa pun yang memimpin Indonesia kelak mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional dengan sejumlah koreksi pada kebijakan yang sudah berjalan.
Oleh karena itu, diperlukan kekuatan penyeimbang di parlemen dalam proses perbaikan kebijakan yang diperlukan.
Faisal menilai tantangan pemerintahan mendatang adalah terkait akselerasi ekonomi, pemerataan ekonomi dan perbaikan kebijakan fiskal.
Upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, tegas dia, harus melalui kebijakan yang tidak business as usual.
Ketika kondisi ekosistem perekonomian global dan nasional saat ini kurang mendukung, tambah Faisal, menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tantangan yang tidak mudah.
Mengacu pada pengalaman di masa lalu, ungkap Faisal, biasanya pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai Indonesia selalu dibantu oleh booming kenaikan harga komoditas.
Faisal berpendapat perlunya kewaspadaan terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti Tiongkok yang melambat. Kondisi tersebut menyebabkan surplus perdagangan yang dinikmati Indonesia saat ini terus tergerus.
Faisal menilai kebijakan hilirisasi yang diinisiasi pemerintah saat ini akan mendorong perkembangan industri manufaktur di tanah air. Meski begitu, dia mengingatkan, penerapan hilirisasi di sejumlah sektor harus diperhatikan dengan serius aspek lingkungan, sosial dan tata kelolanya.
Kepala Ekonom PT. Bank Central Asia, David Sumual mengungkapkan pergerakan pasar dunia saat ini menunggu The Fed menurunkan suku bunga.
Bahkan, ujar David, di negara-negara yang fundamental ekonominya lemah saat ini sudah terdampak sejumlah kebijakan yang diambil oleh The Fed, sehingga perlu dicermati kebijakan yang akan diambil bank sentral AS itu.
David berpendapat nilai tukar rupiah saat ini relatif menguat karena ada aliran dana asing yang masuk pasar modal. Para investor itu masuk, jelas dia, karena mereka menilai fundamental ekonomi dan inflasi Indonesia masih baik.
Ia turut mengingatkan potensi melemahnya nilai tukar rupiah yang disebabkan cenderung melambatnya perekonomian di Tiongkok.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Netralitas Penyelenggara Pemilu Harus Dijamin
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Perbankan dan Keuangan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rofikoh Rokhim mengungkapkan pascapemilu di Indonesia berlangsung dengan biasa saja.
Menurut Rofikoh, salah satu peristiwa yang di luar perkiraan terjadi pada 1997-1998, ketika pemerintahan Soeharto jatuh.
Dia menilai, perubahan pada 1998 itu banyak memberi manfaat, salah satunya adalah pergantian kekuasaan di masa-masa berikutnya berlangsung dengan damai.
Saat ini, ujar Rofikoh, yang perlu mendapat perhatian dan diwaspadai adalah perubahan iklim, perubahan aturan dan perubahan perilaku masyarakat yang dampaknya akan terlihat pada 10-20 tahun mendatang.
Sejumlah risiko tersebut harus diantisipasi dan diwaspadai agar tidak menghambat proses pembangunan.
Dengan mengembangkan kemampuan mengidentifikasi sejumlah risiko itu, Rofikoh yakin Indonesia akan mampu bertahan terhadap berbagai kondisi yang terjadi.
Rofikoh menegaskan tidak perlu terlalu khawatir menghadapi kondisi pascapemilu, tetapi harus tetap waspada dengan selalu mempersiapkan langkah antisipasi yang tepat.(*)