TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota DPR RI Komisi VIII Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi rencana Menteri Agama yang ingin menjadikan pencatatan nikah seluruh agama terpusat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurutnya, rencana tersebut tidak sesuai dengan filosofi sejarah KUA di Indonesia dan aturan yang berlaku, termasuk amanat UUD NRI 1945.
"Pengaturan pembagian pencatatan nikah yang berlaku sejak Indonesia merdeka yakni Muslim di KUA dan non Muslim di Pencatatan Sipil selain mempertimbangkan toleransi juga sudah berjalan baik, tanpa masalah dan penolakan yang berarti. Maka usulan Menag itu jadi ahistoris dan bisa memicu disharmoni ketika pihak calon pengantin non Muslim diharuskan pencatatan nikahnya di KUA yang identik dengan Islam. Faktor sejarah terkait pembagian pencatatan pernikahan itu harusnya dirujuk, agar niat baik Menag tidak malah offside atau melampaui batas. Apalagi soal menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan nikah bagi semua agama yang berdampak luas dan melibatkan semua umat beragama belum pernah dibahas dengan Komisi VIII DPR RI. Sementara banyak warga yang kami temui saat reses, merasa resah dan menolak rencana program yang diwacanakan Menag tersebut," ujar Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Senin (26/2).
Baca juga: Umroh Backpacker Dilarang, HNW Kritisi Agar Regulasi Soal Umrah Mandiri Direvisi
Anggota DPR RI Fraksi PKS ini menjelaskan, institusional KUA berawal dari jabatan penghulu yang bertugas mencatatkan pernikahan dan urusan keagamaan lainnya bagi warga Muslim, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Sementara bagi agama-agama lainnya dicatatkan langsung melalui Dinas Pencatatan Sipil (Capil) sebagai bentuk toleransi dan menghargai keragaman umat beragama, dan juga untuk memudahkan mereka baik secara psikologis maupun sosial.
Hal itu sesuai ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945, yakni Negara untuk menjamin agar tiap penduduk dapat beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Peraturan pembagian kewenangan pencatatan nikah juga sudah ada jauh sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, dan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Panjangnya masa berlaku UU Pencatatan Nikah dan Perkawinan menunjukkan bahwa urusan pencatatan pernikahan yang memberikan pengakuan atas kekhasan ajaran agama terkait pernikahan tersebut berjalan dengan baik, diterima dan lancar, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar. Apalagi Menag dan publik tentunya tahu, bahwa KUA selain perpanjangan dari peradilan agama (Islam) juga merupakan institusi/kantor yang berada di bawah Ditjen Bimas Islam, yang memang tugasnya hanya mengurusi umat Islam saja," sambung Hidayat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016, Kantor Urusan Agama Kecamatan merupakan unit pelaksana Teknis pada Kementerian Agama, berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Anehnya, usulan Menteri Agama agar KUA mengurusi pencatatan nikah semua agama disampaikan pada Raker Ditjen Bimas Islam.
Baca juga: HNW: Santri Bagian dari Generasi Muda yang Harus Memperkuat Nilai Etika Selamatkan Bonus Demografi
"Sangat disayangkan di Forum Raker dengan Bikas Islam yang harusnya mengutamakan pembahasan peningkatan layanan untuk Masyarakan Islam, justru digunakan untuk membahas yang bukan lingkup tugas dan tanggung jawab Bimbingan Masyarakat Islam,” ujar Hidayat.
"Jika KUA juga ditugasi mencatat nikah semua agama, apakah artinya akan dibuat ketentuan baru bahwa KUA tidak lagi berada di bawah Ditjen Bimas Islam? Jika masih di Bimas Islam, maka apa relevansinya mencatatkan pernikahan non Muslim. Dan apakah non Muslim juga akan menerima pencatan pernikahan mereka di lembaga yg berada di bawah Ditjen Bimas Islam? Juga komisi VIII DPR RI apa juga akan menerima hal yang ahistorik dan alih-alih menjadi solusi, malah bisa menimbulkan banyak keresahan dan disharmoni," sambungnya.
Kebijakan yang diusulkan itu dikhawatirkan akan semakin memberatkan sebagian besar KUA yang mengalami kekurangan SDM dan tidak punya kantor sendiri, sehingga mengakibatkan inefisiensi prosedural.
Bahkan, usulan tersebut bisa memberatkan warga non Muslim yang akan menikah. Pasalnya, pencatatan nikah dilakukan di Dinas Pencatatan Sipil dan langsung terintegrasi dengan NIK dan KTP. Jika dilakukan di KUA, maka akan terjadi prosedur tambahan.
Selain itu, KUA juga identik dengan umat Islam, sehingga menimbulkan beban psikologis serta ideologis bagi non Muslim jika harus mengurus pernikahan ke KUA.
"Di tengah fenomena banyaknya perzinahan dan kasus penyimpangan seksual lainnya, Pemerintah harusnya memudahkan pernikahan sesuai UU Pernikahan, baik melalui peningkatan layanan, perampingan syarat administratif, pemenuhan hak KUA dan sebagainya, bukan justru merubah aturan yang tidak hanya mempersulit kinerja KUA, menambah beban prosedural, tapi juga beban psikologis dan ideologis di tengah masyarakat non Muslim," lanjut Hidayat.
Dirinya dan Fraksi PKS mendesak agar Menag lebih fokus pada optimalisasi peran dari Bimas Islam khususnya KUA karena masih banyak masalah yang belum terselesaikan, seperti kekurangan penghulu, kepemilikan kantor, hingga revitalisasi bangunan dan layanan, serta maksimalisasi peran dan fungsi penyuluh keagamaan termasuk yang terkait dengan konsultasi pra nikah.
Peningkatan layanan penyuluhan pra nikah diperlukan lantaran maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kasus perceraian. Sepanjang tahun 2022 telah terjadi sebanyak 516.334 kasus. Angka tersebut meningkat 15 persen dari tahun 2021 dan merupakan yang tertinggi selama 6 tahun terakhir.
"Harusnya Menag fokus carikan solusi terhadap masalah yang merupakan ranah Bimas Islam. Bukan justru offside mengarahkan Bimas Islam turut mengurusi agama lain, seperti menjadikan KUA menjadi tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam juga, padahal KUA adalah institusi dibawah Dirjen Bimas Islam, hal yang tidak sejalan dengan aturan tata kelola organisasi Kemenag yang dikeluarkan sendiri oleh Menag. Lebih maslahat bila Menag membatalkan niatnya menjadikan KUA juga sebagai tempat pencatatan nikah semua agama, dan lebih banyak maslahatnya bila Menag menguatkan peran dan fungsi dari KUA untuk menjadi bagian dari solusi masalah penyimpangan dari ajaran Agama Islam yang terjadi di masyarakat,” pungkasnya.(*)
Baca juga: Indonesia Dukung Hari Internasional Anti Islamophobia, HNW: Diperlukan UU Anti-Islamophobia