TRIBUNNEWS.COM - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengapresiasi transformasi dan inovasi Tiongkok yang fantastik. Pasca kemerdekaan di tahun 1949, tidak mudah mengelola negara sebesar Tiongkok, dengan wilayah terluas ketiga di dunia sekitar 9,69 juta km2 dan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia dengan lebih 1,4 milyar jiwa. Dari semula negara berkategori miskin hingga tumbuh sebagai negara super power, bahkan saat ini dianggap sebagai pesaing kuat hegemoni Amerika Serikat, hanya dalam kurun waktu kurang dari seratus tahun.
"Tiongkok yang dahulu dikenal dengan negara yang miskin dan kelaparan, mampu berubah menjadi negara maju yang spektakuler. Tidak heran jika di tahun 2021 lalu saja, GDPnya tercatat mencapai USD 17,7 triliun, GDP per kapita mencapai USD 12,551, pertumbuhan ekonomi mencapai 8,1 persen, dengan cadangan devisa mencapai USD 3,25 triliun," ujar Bamsoet dalam wawancara dengan Kantor Berita Tiongkok Xinhua, di Jakarta, Selasa (11/6/4).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, salah satu kunci keberhasilan Tiongkok karena memiliki rencana pembangunan jangka panjang, bahkan hingga tahun 2050, yakni pada saat usia kemerdekaan Tiongkok memasuki usia ke-100 tahun. Selain Tiongkok juga ditunjang sistem politik dan pemerintahan yang kuat.
"Dua hal inilah yang tidak dimiliki Indonesia pada saat ini. Tidak heran walaupun usia kemerdekaan Indonesia dengan Tiongkok tidak berbeda jauh, bahkan kita lebih dahulu merdeka pada tahun 1945, namun kondisi kemajuan ekonomi, sosial, dan politik, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan Tiongkok," jelas Bamsoet.
Baca juga: Hadiri Pelantikan Jampidum, Ketua MPR RI Bamsoet Dorong Optimalisasi Restorative Justice
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, hal tersebut harus diakui dengan jujur dan terbuka. Sehingga bangsa Indonesia bisa belajar banyak dari Tiongkok, khususnya dalam membuat perencanaan pembangunan jangka panjang serta sistem politik dan pemerintahan yang kuat.
"Dimasa Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia sebetulnya sudah memiliki rencana pembangunan jangka panjang. Namun sejak era Reformasi, hal tersebut justru dihapuskan. Tiongkok menggunakan sistem politik dan pemerintahan dengan menyesuaikan jati diri dan budayanya. Sementara Indonesia, dahulu kita memiliki demokrasi Pancasila, tapi kini justru malah berubah menjadi demokrasi liberal akibat adanya politik pemilihan langsung dengan efek maraknya politik uang," pungkas Bamsoet. (*)