News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Perubahan Nomenklatur Wantimpres Menjadi Dewan Pertimbangan Agung

Editor: Content Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bamsoet menerima Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia sekaligus Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari Jambi Prof. Abdul Bari Azed, di Jakarta, Kamis (11/7/24).

TRIBUNNEWS.COM - Ketua MPR RI ke-16 sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mendukung rencana DPR RI mengubah nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Keputusan sudah diambil dalam Rapat Paripurna ke-22 masa persidangan V Tahun Sidang 2023-2024, Kamis (11/7/24), yakni seluruh fraksi DPR sepakat untuk menjadikan RUU Wantimpres menjadi menjadi RUU inisiatif DPR.

"Setidaknya terdapat 3 poin perubahan dalam RUU Wantimpres, yakni terkait perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA, perubahan jumlah anggota, hingga syarat menjadi anggota DPA. Selanjutnya RUU tersebut akan dibahas DPR bersama pemerintah. Diharapkan bisa segera disahkan menjadi undang-undang dalam waktu dekat. Sehingga pada saat Prabowo - Gibran dilantik mejadi Presiden - Wakil Presiden RI, keberadaan DPA sudah ada dan bisa langsung dimaksimalkan untuk mendukung pemerintahan Prabowo - Gibran," ujar Bamsoet usai menerima Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia sekaligus Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari Jambi Prof. Abdul Bari Azed, di Jakarta, Kamis (11/7/24).

Hadir juga Penasihat Ikatan Alumni Universitas Indonesia Boyke Hendra.

Baca juga: Ketua MPR RI Bamsoet Dorong Pembenahan Sistem Pendidikan Nasional oleh Pemerintah dan DPR

Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum & Keamanan ini juga mendukung apabila keberadaan DPA dimaksimalkan untuk mewujudkan gagasan Presidential Club yang pernah digagas Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Sehingga selain diisi para tokoh masyarakat dari beragam latar belakang dan disiplin ilmu, DPA juga bisa diisi oleh para mantan presiden dan juga bahkan mantan wakil presiden yang pernah memimpin Indonesia.

"Presiden diberikan kewenangan untuk memilih sendiri para anggota DPA sesuai kebutuhan. Siapapun yang dipilih merupakan putra dan putri terbaik bangsa yang tidak hanya memiliki rekam jejak kenegarawanan, melainkan juga memiliki kearifan dalam melihat situasi kehidupan kebangsaan," jelas Bamsoet.

Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Pertahanan RI dan Universitas Jayabaya, serta Pendiri Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA) ini menerangkan, selain memberikan dukungan terhadap DPA, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia sekaligus Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari Jambi Prof. Abdul Bari Azed juga memberikan dukungan agar MPR RI bisa kembali memiliki kewenangan mengeluarkan Ketetapan MPR, baik yang bersifat beschikking dan regeling. Sesuai amanat ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

"Maka sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, MPR RI yang terdiri dari Anggota DPR dan DPD RI, seharusnya tetap dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar," terang Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran (PADIH UNPAD) ini menekankan, kewenangan subjektif superlatif MPR RI melalui Tap MPR RI merupakan solusi dalam mengatasi berbagai persoalan negara tatkala dihadapkan pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan Kahar Fiskal dalam skala besar.

"Misalnya, ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR RI, kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR RI dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK. Mengingat sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara," pungkas Bamsoet. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini