Pada 2050, jelas Marsudi, diperkirakan dunia sudah masuk pada penggunaan super AI hingga super human AI. Marsudi mengungkapkan, sejumlah tokoh dunia saat ini takut pada perkembangan AI yang sangat cepat, karena dikhawatirkan kecerdasan AI pada suatu saat melebihi kecerdasan manusia.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Bambang Riyanto Trilaksono berpendapat sejumlah sektor seperti reformasi birokrasi, pendidikan, riset, kesehatan dan ketahanan pangan merupakan sektor-sektor yang bisa dikedepankan dalam pemanfaatan AI.
Bambang menganalogikan AI dengan sistem sensor yang biasa digerakkan otak manusia. Kecerdasan buatan, jelas Bambang, akan semakin berkembang karena data berlimpah dan algoritma yang membaik.
Anggota Komisi I DPR RI, Kresna Dewanata Phrosakh mengingatkan bahwa kemajuan AI tidak bisa dibendung. Ia menegaskan, apa pun yang terjadi kita tidak boleh tertinggal dengan kecepatan perkembangan teknologi.
Sistem perundang-undangan kita, jelas anggota Fraksi Partai NasDem DPR itu, harus mampu memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dari dampak pemanfaatan teknologi.
Sebagai manusia, tegas Krisna, kita harus memanusiakan manusia, jangan sampai dikendalikan oleh teknologi. Menurut dia, dalam penyusunan undang-undang terkait dampak pemanfaatan teknologi terhadap warga negara, aspek moral harus tetap ditegakkan dan harus mampu mengantisipasi perkembangan teknologi 40 tahun depan.
Psikolog Klinis Ratih Ibrahim berpendapat AI merupakan bagian teknologi ciptaan manusia. "Apakah kita harus cemas atau bersyukur dengan perkembangan teknologi itu?" ujar Ratih.
Teknologi, ujar dia, adalah sebuah keniscayaan yang pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kecerdasan buatan itu, jelas Ratih tergantung siapa yang memberi 'makan', berapa data yang dimiliki dan siapa yang memanfaatkannya.
Baca juga: Lestari Moerdijat Dorong Generasi Muda untuk Berperan Aktif dalam Pembangunan Bangsa
"Kita perlu melek teknologi dengan mengenal, memahami, dan akhirnya mampu menguasai teknologi itu," ujar Ratih.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, berbicara perkembangan AI yang pesat terbayang munculnya tirani teknologi. Tirani teknologi ini, jelas Saur, urusan setiap manusia di negara mana pun.
Teknologi itu, tambah dia, berwatak instrumental yang selalu saja berada di luar diri manusia. Sehingga, ujar Saur, secerdas-cerdasnya AI akan berurusan dengan kekuatan dalam diri manusia.
"Kekuatan dalam diri kita ini penting untuk menghadapi tirani teknologi," tegasnya.
Jadi, jelas Saur, pemanfaatan teknologi harus diimbangi dengan upaya untuk memuliakan manusia. Sehingga, kualitas mindfulness yang kita miliki menjadi penting untuk mewujudkan keseimbangan tersebut.