TRIBUNNEWS.COM - Banjir data di ruang publik yang memberi gambaran tentang melemahnya kinerja ekonomi nasional hendaknya dimaknai sebagai aspirasi rakyat Indonesia dan juga peringatan kepada pemerintah agar lebih fokus pada pemulihan ekonomi. Kombinasi antara faktor eksternal dan internal masih akan terus memberi tekanan terhadap ekonomi dalam negeri, namun pemulihan bertahap masih bisa diupayakan, antara lain dengan menekan impor dan tidak memberlakukan kebijakan yang memperlemah daya beli masyarakat.
Sebagaimana telah diketahui bersama, ruang publik sudah dibanjiri data tentang gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), kinerja sektor manufaktur yang terus melemah, deflasi beruntun, menurunnya jumlah kelas menengah, naiknya harga minyak mentah di pasar global hingga potensi ketidakmampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengejar target pertumbuhan.
Fakta-fakta ini perlu digarisbawahi bersama, terutama menjelang peralihan adiministrasi pemerintahan. Dalam hitungan hari, Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo akan demisioner, dan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih dari Pemilu 2024 akan dilantik. Kesimpulannya, Prabowo dan kabinetnya akan memulai adiminstrasi pemerintahnnya dengan sederet permasalahan strategis yang berkait langsung dengan aspek kesejahteraan rakyat.
Akan sangat bijaksana jika data-data yang memberi gambaran tentang melemahnya kinerja ekonomi nasional itu dimaknai sebagai peringatan sekaligus aspirasi masyarakat agar pemerintahan baru nantinya sungguh-sungguh fokus pada upaya pemulihan ekonomi nasional. Kendati tidak mudah, upaya pemulihan itu bisa dilakukan secara bertahap dengan memaksimalkan pemanfaatan potensi di dalam negeri.
Berpijak pada kecenderungan naiknya harga minyak di pasar global akhir-akhir ini, tekanan terhadap APBN 2025 praktis tak terhindarkan, terutama karena penerapan kebijakan politik subsidi bahan bakar minyak (BBM) bagi masyarakat. Pekan kedua Oktober 2024, harga minyak mentah dunia dilaporkan naik lagi karena pasar cemas akan terjadinya gangguan arus pasok menyusul kesiapan militer Israel membalas serangan Iran. Faktor lain yang juga ikut menaikkan harga minyak adalah perkiraan meningkatnya permintaan di Amerika Serikat (AS) setelah beberapa wilayah di negara itu porak poranda diterjang badai Milton.
Pada Senin (7/10), dilaporkan bahwa kontrak berjangka untuk minyak jenis Brent naik tajam 3,84 persen ke level 81,14 dolar AS per barel, sementara minyak jenis WTI naik 3,97 persen ke level 77,50 dolar AS per barel. Semua orang tahu bahwa kenaikan harga minyak akan selalu berdampak ke APBN dalam wujud gelembung subisidi BBM.
Masalahnya menjadi cukup pelik karena para ekonom yang membantu Prabowo mengemukakan APBN 2025 kekurangan dana. Drajad Wibowo, selaku anggota Dewan Pakar TKN Prabowo Subianto, mengemukakan bahwa untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, dibutuhkan tambahan belanja negara di APBN 2025 sebesar Rp 300 triliun.
Indikator lain yang juga harus disikapi dengan bijaksana adalah melemahnya kinerja sektor manufaktur dalam negeri. Dampak negatif menurunnya produktivitas sektor manufaktur nyata-nyata melebar ke beberapa aspek. Antara lain, terjadinya gelombang PHK yang berkelanjutan, menurunnya permintaan atau konsumsi masyarakat akibat melemahnya daya beli, yang kemudiam memunculkan data tentang deflasi beruntun.
Kinerja manufaktur dalam negeri dicerminkan oleh data purchasing manager’s index (PMI) atau indeks pembelian manajer. PMI dipahami sebagai persepsi para manajer pembelian tentang dinamika pasar. Dari mereka bisa diketahui apakah pasar terus berkembang, tetap sama atau daya serapnya menyusut. Per Juli 2024, PMI hanya 49,3, turun dari Juni 2024 yang masih 50,7. Data seperti ini dengan gamblang menjelaskan perihal melemahnya permintaan dalam negeri, yang pada gilirannya menjelaskan pula soal turunnya produktivitas sektor industri.
Persoalannya tak berhenti sampai di situ. Produktivitas sektor manufaktur yang menurun tajam mendorong banyak pelaku industri atau pabrik, baik skala besar maupun UMKM, melakukan penyesuaian. Salah satu opsi yang lazim dipilih adalah PHK untuk menurunkan biaya operasional. Data resmi kementerian tenaga kerja mencatat bahwa sepanjang periode Januari –Oktober 2024, total PHK dialami lebih dari 52.993 pekerja. Tahun lalu, total PHK mencapai 64.000.
Kini, sudah muncul asumsi kalau gelombang PHK di berbagai sektor industri bakal terus membesar hingga di atas 70.000 pekerja pada akhir tahun 2024. Jumlah pengangguran menjadi sangat besar jika ditambahkan dengan 10 juta komunitas Gen-Z yang tidak melanjutkan pendidikan dan tidak bekerja, sebagaimana diungkap Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2024..
Terus bertambahnya angkatan kerja yang menganggur tentu saja memberi gambaran sangat jelas tentang fluktuasi daya beli masyarakat pada umumnya. Maka, tidaklah mengejutkan ketika BPS mengumumkan bahwa Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut, terhitung sejak Mei 2024.
Jumlah pengangguran yang terus membesar, melemahnya daya beli dan fakta tentang deflasi tentu saja memunculkan akibat lain. Relevansinya terlihat dari gambaran tentang menurunnya kelas menengah Indonesia dalam lima tahun terakhir. BPS mencatat, jumlah kelas menengah Indonesia tercatat 57,33 juta orang atau 21,45 persen dari total penduduk pada 2019. Per 2024, kelas menengah tersisa menjadi 47,85 juta orang atau 17,13 persen. Data ini menjelaskan tentang adanya potensi pertambahan jumlah warga miskin jika tidak ada upaya yang segera untuk menciptakan lapangan kerja.
Data atau indikator-indikator tersebut di atas sama sekali tidak baru. Bahkan sudah menjadi perbicangan publik dalam berbagai kesempatan. Tentu saja ada tujuan ketika berbagai kalangan membanjiri data dan semua indikator tadi ke ruang publik. Katakanlah aktivitas membahas data dan indikator ekonomi itu ibarat aspirasi masyarakat atau pesan kepada pemerintah untuk sungguh-sungguh fokus pada upaya pemulihan ekonomi nasional.
Memang, di tengah ketidakpastian global seperti sekarang, upaya memulihkan ekonomi nasional tidak mudah. Namun, dengan berpijak pada fakta tentang kekuatan potensi dalam negeri, upaya pemulihan secara bertahap dapat dilakukan. Para ekonom yang akan membantu Prabowo, misalnya, perlu merumuskan strategi memulihkan kinerja sektor manufaktur. Salah prioritas kebijakan yang perlu dipertimbangkan penerapannya adalah mengendalikan impor produk-produk manufaktur.
Hari-hari ini, ragam produk manufaktur asal impor praktis menguasai pasar dalam negeri karena arus masuknya tak terkendali. Produk-produk impor itu dijual dengan harga sangat murah. Demikian tingginya volume produk impor yang membanjiri pasar Indonesia menyebabkan sejumlah perusahaan atau produsen dalam negeri gulung tikar dan mem-PHK pekerja. Sekadar untuk dicatat, sektor manufaktur dalam negeri tidak hanya melibatkan industri skala besar, melainkan juga puluhan juta UMKM serta industri rumah tangga. Sektor manufaktur dalam negeri dengan produktivitas tinggi akan menyerap banyak tenaga kerja.
Prioritas kebijakan lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah upaya merawat dan memperkuat daya beli masyarakat. Negara selalu berharap konsumsi masyarakat terus menguat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Maka, wacana tentang kebijakan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen patut dipertimbangkan lagi, karena langkah ini akan semakin memperlemah daya beli masyarakat.