TRIBUNNEWS.COM - Komisi XI DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pada Rabu (27/1/2020). Sejumlah hal menjadi pembahasan dalam rapat tersebut, yakni Realisasi APBN 2020 (termasuk pelaksanaan PEN 2020), pelaksanaan APBN 2021 dan keberlanjutan PEN 2021, kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT), dan kebijakan Klaster Perpajakan di dalam UU Cipta Kerja.
Memimpin rapat kerja secara virtual, Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto memaparkan outlook perekonomian Indonesia di awal tahun 2021 ini. Berbagai hal, termasuk keberhasilan pengembangan vaksin COVID-19, diharapkan dapat memberikan optimisme dan meningkatkan sentimen positif terhadap prospek perekonomian dan pasar keuangan global.
Memasuki kuartal IV-2020, perbaikan aktivitas ekonomi terus berlanjut setelah proses pembalikan arah (turning point) yang terjadi di triwulan III-2020. Permintaan domestik melanjutkan pemulihan terbatas, sementara ekspor membaik signifikan. Outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2020 diperkirakan akan mengalami kontraksi pada kisaran -2,2% s.d -1,7%.
"Kondisi makro ekonomi juga menunjukkan perbaikan dan relatif stabil yang tercermin pada membaiknya inflasi dan terjaganya stabiltas nilai tukar rupiah. Inflasi mulai mengalami peningkatan sejak Oktober 2020 menunjukkan indikasi pulihnya permintaan," kata Dito, saat membuka rapat kerja yang berlangsung secara virtual tersebut.
Lebih lanjut, Politisi Senior Partai Golkar itu menjelaskan bahwa realisasi pendapatan negara mencapai Rp1.633,6 triliun, atau mencapai 96,1% dari target Perpres 72/2020. Jika dibandingkan dengan capaian tahun 2019, realisasi pendapatan negara tahun 2020 tersebut tumbuh negatif sebesar -16,7%.
Selanjutnya, realisasi belanja negara mencapai Rp2.589,9 triliun (94,6% dari pagu Perpres 72/2020), atau tumbuh 12,2% dari realisasinya di tahun 2019. Hal ini sejalan dengan strategi ekspansif yang diambil Pemerintah untuk menahan laju perlambatan ekonomi akibat pandemi.
Sementara itu, untuk realisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional pada tahun 2020 telah terserap sebesar Rp579,8 triliun atau 83,4 persen dari total alokasi anggaran sebesar Rp695,2 triliun.
"Kinerja APBN sebagai alat countercyclical untuk merespon dampak pandemi sampai dengan akhir tahun cukup terkendali dengan tetap menjaga defisit di bawah target Perpres 72/2020, yaitu sebesar Rp956,3 triliun atau 6,09% dari PDB. Pemenuhan kebutuhan defisit anggaran dan untuk mendukung pelaksanaan program PEN, Pemerintah mengelola pembiayaan anggaran secara prudent dan terukur, serta memperkuat sinergi dengan Bank Indonesia," paparnya.
Memasuki tahun 2021, Dito menilai bahwa tahun ini menjadi momentum penting untuk melakukan percepatan pemulihan ekonomi nasional, penguatan reformasi struktural dan transformasi menuju Indonesia maju.
Melalui APBN 2021, pemerintah melanjutkan kebijakan countercyclical yang ekspansif dan konsolidatif. Kebijakan fiskal APBN 2021 utamanya diarahkan untuk menjaga dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional, reformasi APBN, penguatan reformasi struktural, akselerasi prioritas pembangunan nasional.
Terkait pemerintah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021, Dito menilai kebijakan ini diambil Pemerintah melalui pertimbangan terhadap lima aspek, yaitu kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan.
"Berangkat dari kelima instrumen tersebut, Pemerintah berupaya untuk dapat menciptakan kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang inklusif. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap masing-masing aspek pertimbangan," ungkapnya.
Selanjutnya, terkait kebijakan lanjutan sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja berupa kebijakan Klaster Perpajakan, Dito berharap hal tersebut menjadi satu kesatuan dalam mendorong pemulihan ekonomi, mendukung transformasi ekonomi untuk menghindari middle income trap, peningkatan daya saing investasi dan menekan biaya yang tinggi. (*)