TRIBUNNEWS.COM – Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan pemerintah menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna yang digelar di kompleks parlemen, Selasa (6/12/2022).
Sebagai informasi, RKUHP merupakan masterpiece dan legacy dalam proses perubahan dari KUHP.
Hal ini merupakan peninggalan kolonial yang kini menjadi hukum nasional.
RKUHP disusun dengan nilai-nilai keindonesiaan (Indonesian Way) yang merupakan sebuah upaya dekolonialisasi dalam sistem pidana Indonesia.
Undang-undang yang baru mengatur oral seks menjadi perbuatan pencabulan, hal itu dapat masuk menjadi delik pidana apabila memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dilakukan dengan kekerasan, atau
2. Dilakukan dengan ancaman kekerasan
3. Jika dilakukan dalam ikatan perkawinan, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan korban.
Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia
Selama bertahun-tahun lamanya, kasus kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi fokus pemerintah.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, selama tahun 2022 telah tecatat 338.496 kasus kekerasan seksual yang telah diadukan pada tahun 2021.
Dan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2010-2020) angka kekerasan seksual terhadap perempuan mengalami kenaikan, mulai dari 105.103 kasus pada tahun 2020 dan meningkat mencapai 299.911 kasus pada tahun 2020.
Melalui data Kemenppa.go.id, selama tahun 2022 ada 23.759 kasus yang telah dilaporkan, dengan rincian 3.910 korban laki-laki dan 21.604 korban perempuan.
Korban terbanyak menurut kelompok umur berada di 13-17 tahun, disusul kelompok umur 25-44 tahun.
Perluasan Tindakan Pemerkosaan
Dalam KUHP terbaru, definisi pemerkosaan pun semakin diperluas yang beberapa diantaranya adalah:
1. Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya.
2. Persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
3. Persetubuhan dengan Anak;
4. Persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; atau
5. Persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan memberi atau menjanjikan uang atau Barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan menggerakannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan dengannya, padahal tentang keadaan disabilitas itu diketahui.
6. Memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain; (dengan kekerasan/ancaman kekerasan)
7. Memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; (dengan kekerasan/ancaman kekerasan) atau
8. Memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain (dengan kekerasan/ancaman kekerasan).
Dengan demikian, para pelaku kejahatan seksual dapat dijerat sesuai tindak pidana yang sudah diperluas dengan harapan dapat mengurangi para pelaku kejahatan.
Hukuman para pelaku tindak kejahatan seksual juga akan diperberat jika korbannya adalah anak di bawah umur, dengan minimal 3 tahun penjara dan 15 tahun penjara.(*)