GUDEG identik dengan Yogyakarta, tetapi jenis masakan berbahan nangka muda ini juga dikenal dalam khazanah kuliner Kota Solo. Tersebutlah, Gudeg Bu Mari yang melegenda setelah konsisten menemani lidah penggemarnya selama 45 tahun.
Berlokasi di kawasan perdagangan Singosaren, tepatnya di Jalan Gatot Subroto, warung gudeg ini buka 24 jam non-stop menemani aktivitas penghuni kota. Almarhum Mari, yang meninggal empat tahun lalu pada usia 73 tahun, merintis warung ini hingga kemudian diteruskan anak perempuannya, Atik (45).
Berbeda dari gudeg khas Yogya yang cenderung manis, gudeg khas Solo minim rasa manis dengan gurih yang merajai rasa bahkan cenderung asin, seperti saat kami datang untuk bersantap. Atik hanya menggunakan sedikit gula jawa pada racikan gudegnya. Rasa gurih datang dari santan murni yang digunakan.
Aroma pedas yang membangkitkan selera membuat lidah tak sabar untuk segera mencicipi gudeg yang dikawinkan dengan sambal goreng krecek dan tempe yang superpedas. Apabila suka, bisa juga menambahnya dengan sambal pete.
Sebagai teman makan, ditawarkan berbagai lauk, seperti tahu putih, tahu kulit, telur, dan ayam. Untuk ayam suwir, diambilkan dari ayam broiler, sedangkan ayam utuhnya dari ayam kampung. Jangan lewatkan ceker atau cakar alias kaki ayam yang juara menggoda hati dan lidah. Kuku-kuku pada ceker sudah terpotong sehingga tidak ada lagu ”benda keras” yang mengganggu penikmatan. Satu porsi yang berisi 10 potong ceker bisa diganyang dengan mulus karena ceker begitu lunak. Bahkan tidak perlu digigit, tapi cukup dikulum dengan bibir, daging pada ceker lepas ke mulut.
Atik bisa menghabiskan 20 kilogram ceker setiap hari, bahkan saat masa Lebaran, bisa mencapai 30 kilogram. ”Saya menyiram ceker dengan air panas untuk menghilangkan lemak dan kotoran, baru dimasak,” kata Atik.
Bubur
Selain ceker, sajian khas lainnya adalah bubur lemu, yakni beras yang dimasak menjadi bubur bersama santan dan daun salam sehingga rasanya gurih. Banyak pembeli lebih menyukai memadukan gudeg dengan bubur lemu ini. Kerupuk, peyek, rambak atau kerupuk kulit, serta pisang menjadi pilihan untuk menggenapi acara makan para pesantap.
Kesukaan Atik pada mainan dan pernak-pernik membuatnya menghiasi warung dengan barang-barang, seperti lampion, guci kecil, dan bunga plastik. Di antara foto-foto yang dipajang adalah foto Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Hatta Rajasa, dan Hidayat Nur Wahid. Warung ini agaknya cukup populer sebagai tujuan wisata kuliner di kalangan tokoh dan artis nasional yang berkunjung ke Solo. ”Masih banyak lagi fotonya, kalau dipajang semua enggak muat,” kata Atik.
Pengunjung bisa memilih duduk di kursi di dalam tenda atau lesehan di tepi jalan sambil menikmati suasana kota yang diwarnai pelalu lalang yang melintas. Warung ini menyewa lahan kosong di samping sebuah toko.
Tungku-tungku arang yang berjajar di ”dapur” yang berlokasi di samping warung berperan penting memberi aroma khas yang merasuk dalam setiap masakan yang disajikan. Butuh waktu dua hari untuk memasak gori atau nangka muda hingga menjadi gudeg dan siap disajikan di atas piring. Atik tidak memakai salam dan laos dalam deretan bumbu gudegnya agar penampilannya tidak ”kotor”. Gudeg-gudeg di Solo warnanya tidak secoklat dan sepekat gudeg-gudeg di Yogya. Demikian pula areh atau kuah santan kentalnya, berwarna putih atau kuning kecoklatan dan basah.
Pembeli yang ingin membawa gudeg ini ke luar kota disediakan kendil berisi gudeg komplet. Satu paket seharga Rp 150.000. Bisa juga memilih dengan kemasan kardus agar lebih ringan. Gudeg ini tahan 24 jam dalam perjalanan. Makan di tempat harganya sangat terjangkau, misalnya satu porsi berisi gudeg dengan lauk ayam suwir dan telur hanya Rp 15.000, sedangkan satu porsi ceker berisi 10 potong dihargai Rp 20.000.
Atik sudah membantu memasak sejak usia lima tahun. Hingga kini, anak ketiga dari sembilan bersaudara ini meracik sendiri bumbu-bumbu yang diperlukan. Khusus pekerjaan ini tidak ia serahkan kepada orang lain. Ia juga mengawasi bahan-bahan baku yang dipakai agar terjaga kesegaran dan kualitasnya. Atik dibantu saudara dan kerabatnya dalam menjalankan warung.
Oleh karena buka 24 jam, perempuan bernama lengkap Darwanti ini terkadang tidak muncul. Ia beristirahat di rumahnya yang tidak jauh dari warung. Namun biasanya, ia memasak dan melayani sendiri pembeli mulai pukul 16.00-02.30, setelah itu pulang untuk beristirahat. Pukul 07.00, ia sudah bangun dan kembali memasak. Kedua anaknya, Roni dan Robby, membantunya melayani pembeli di sela kegiatan masing-masing. ”Saya nyambut gawe sak karepe (bekerja semau saya), ha-ha-ha,” kata Atik.
Jika lelah, ia akan mengajak pegawai-pegawainya berpiknik, misalnya ke Pantai Indrayanti di Yogyakarta atau ke Bali dengan menyewa bus. Biasanya ini dilakukan setelah periode Lebaran yang menjadi puncak penjualan. Mereka bisa berlibur 10-15 hari. Piknik gudeg.... (Sri Rejeki)