TRIBUNNEWS.COM, PALI- Dalam suatu majelis yang berlangsung di sebuah perguruan tinggi di Palembang awal Mei lalu, seorang perempuan muda curhat kepada ustaz tentang masalah yang dihadapinya.
"Menurut ustaz, apa yang harus saya lakukan? Dalam waktu dekat saya akan menikah dengan laki-laki pilihan saya. Tapi ada tradisi yang harus saya ikuti, dan itu tidak adil bagi saya," ujar perempuan itu.
Perempuan tersebut mengaku berasal dari salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Penukal, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan (Sumsel).
Ia mengatakan, keluarganya masih memegang teguh "tradisi cengkung".
Dalam tradisi tersebut, pasangan pengantin yang baru menikah diwajibkan melakukan "malam pertama" di atas sehelai kain putih.
Di saat bersamaan, beberapa orang sesepuh dari pihak keluarga pengantin laki-laki menunggu di dekat pintu (luar kamar).
Setelah sepasang pengantin selesai melakukan tugasnya, para sesepuh itu akan masuk ke kamar dan memastikan kain putih tersebut ada bekas "darah perawan" atau tidak.
"Saya tahu darah yang keluar saat bercampur tidak bisa menjadi patokan perempuan masih perawan atau tidak. Tapi keluarga saya tetap keukeh melaksanakan adat itu. Saya bingung ustaz," ujar perempuan itu.
Sempat terjadi diskusi panjang di antara peserta majelis, hingga akhirnya sang ustaz menyimpulkan bahwa tradisi itu bertentangan dengan syariat Islam.
"Agama kita tidak mengajarkan seperti itu. Kamu harus memberi penjelasan dengan cara yang baik kepada pihak keluargamu. Bahwa kita harus menjaga pergaulan, betul. Tapi tidak begitu caranya," ujar sang ustaz.
Tanya jawab mengenai tradisi cengkung di majelis tersebut, membawa Sripoku.com kepada seseorang bekas penghulu di salah satu desa dalam wilayah kecamatan Penukal, PALI, tempat tradisi itu pernah ada. H Wancik (65), orangnya.
Ia menceritakan, sebelum tahun 90-an, jejaka yang ingin bertemu gadis pujaannya harus bernyali dan berjuang keras.
Pada masa itu, bertemu dan berduaan harus sembunyi-sembunyi jika tak ingin babak belur dan dikenakan denda.
"Kalau mau ketemu gadis, harus sembunyi-sembunyi. Kalau ketahuan bisa dipukul atau dibawa ke rumah kepala desa dan dikenakan denda," kata Wancik, saat ditemui di rumahnya, Kamis (7/5/2015).
Menurut Wancik, ketatnya aturan pergaulan antara pria dan wanita tersebut bukan tanpa sebab. Hal ini dilakukan karena keluarga sang gadis berusaha menjaga kehormatan dan kesucian anak gadisnya.
Juga agar tidak malu, saat sang gadis menikah pada saatnya. Bagi pria, keperawanan adalah kehormatan seorang gadis pada masa itu.
"Mempelai pria bisa saja mengembalikan perempuan yang baru saja dinikahinya kalau terbukti tak perawan lagi. Makanya ada adat seperti itu," katanya.
Wancik menjelaskan, pada malam pertama, keluarga mempelai pria akan membentangkan sehelai kain putih di atas tempat tidur pengantin.
Kemudian, keluarga pria yang terdiri dari sesepuh akan menunggu di depan pintu kamar pengantin, selama proses malam pertama bercampur.
Setelah kedua mempelai selesai "becampur", maka para orang tua atau sesepuh keluarga akan memeriksa kamar pengantin yang telah selesai digunakan.
Kain putih yang menjadi alas akan diperiksa. Mereka akan membuktikan apakah di kain itu ada bercak darah yang dianggap sebagai bukti bahwa pengantin wanita masih perawan atau
tidak.
Bila didapati ada bercak darah, maka para tetua mempelai pria akan memukul cengkung (sejenis gong kecil) untuk diperdengarkan pada masyarakat banyak.
Suara cengkung mengandung informasi bahwa pengantin perempuan masih perawan. Sebaliknya, jika tidak ditemukan bekas atau noda darah di kain itu, maka tidak ada bunyi cengkung.
"Jika itu terjadi, maka pengantin periah berhak memilih apakah tetap mau melanjutkan pernikahan atau mengembalikan pengantin perempuan kepada keluarganya. Tentunya sangat memalukan dan itu yang dikhawatirkan pihak keluarga perempuan," kata Wancik.
Tiga Bulan Nikah Sudah Lahiran
Cukup lama tradisi ini berjalan di tengah masyarakat Penukal, dan itu dianggap positif karena mampu mencegah pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan saat itu.
Sampai akhirnya muncul sebuah tindakan yang dianggap telah menghianati tradisi ini, sekaligus membuat masyarakat setempat tak mau lagi melaksanakannya.
"Waktu saya jadi ketib (penghulu), sekitar tahun 1990-an ada pihak pengantin pria memukul cengkung, tanda pengantin perempuan masih perawan. Tapi tak sampai tiga bulan menikah, istrinya melahirkan. Saya marah karena mereka sudah membohongi adat. Untuk apalagi ada cengkung kalau pengantin wanitanya tidak perawan lagi. Sejak kejadian itu, orang mulai meninggalkan tradisi ini, karena dianggap tidak ada gunanya lagi," ujar Mat Nur, mantan
penghulu era 90-an.
Hal senada dikatakan Zulkopli, Kepala Desa Purun, Kecamatan Penukal. Lunturnya tradisi itu juga dipicu kemajuan teknologi dan informasi.
Menurut dia, generasi muda dengan mudah bisa mengadopsi gaya hidup bebas. Bahkan duduk berduaan antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim juga tak lagi dianggap tabu.
"Kalau dulu, membuat janji nikah saja cuma ngobrol tanpa bertatap muka. Rumah di sini kan panggung, jadi gadis di dalam rumah, sementara pemuda di bawah rumah," katanya.
Saat menikah di tahun 1991, Zulkopli memang tak lagi menggunakan adat tersebut. Namun pembatasan pergaulan antar bujang dan gadis masih tetap terpelihara. "Kalau sekarang, saya tak tahu lagi mau bilang apa," ujarnya.
Berharap Tradisi Tetap Lestari
Tradisi cengkung yang pernah mengakar di tengah masyarakat tersebut diyakini mampu menjaga pergaulan generasi muda.
Beberapa tokoh masyarakat di PALI bahkan memimpikan tradisi itu kembali lagi, melihat pergaulan bebas tak terkendali akhir-akhir ini.
Menurut mereka, dengan tradisi cengkung, selain pengetahuan agama, para remaja mendapatkan "pengamanan" ekstra ketat dari keluarganya.
Jika orangtua salah dalam mengasuh anak, ancaman dipermalukan ditengah khalayak ramai bakal diterima. Apalagi bila anak gadis yang baru menikah sehari langsung dicerai suaminya hanya gara-gara tidak perawan lagi.
Seperti diungkapkan Fatmawana SH, wakil ketua KNPI Kabupaten PALI. Tokoh perempuan yang berasal dari Desa Purun, Kecamatan Penukal, itu menyesalkan hilangnya tradisi itu.
Menurut dia, memang harus diakui ada sisi positif dan negatif dari tradisi tersebut. Sisi negatifnya memang terkesan kejam, karena perempuan yang tidak perawan saat menikah akan dipermalukan.
"Kita semua tahu. Keperawanan bisa hilang tidak hanya karena berhubungan. Bisa akibat kecelakaan sepeda, dan sebagainya. Tapi kan ada celah untuk membela diri. Sebelum tradisi cengkung dilaksanakan, pengantin perempuan bisa ditanya terlebih dahulu, apakah pernah kecelakaan atau tidak. Di sini bisa dijadikan celah untuk pembelaan," ujar mantan finalis Bujang Gadis Palembang itu.
Bahkan alumni Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang yang masih lajang ini mengaku siap menjalankan tradisi ini bila menikah kelak.
Sebab ia yakin itu bisa menjadi kebanggaan keluarga, bahwa orang tua kita mampu menjaga dan mendidik anak. Ketua Srikandi Indonesia Kabupaten PALI ini berharap tradisi cengkung bisa dilestarikan.
"Kadang rindu melihat tradisi ini. Karena sekarang sudah jarang dilakukan. Padahal, tradisi ini sangat bagus agar para remaja mendapat pelajaran, bahwa seks di luar nikah itu berbahaya dan memalukan. Ini bagus untuk perkembangan generasi muda PALI," katanya.
Saat beranjak remaja ,ibunya juga tak jemu-jemu memberikan arahan agar dirinya dapat menjaga diri. Orangtuanya sangat takut bila kelak keluarganya dipermalukan.
"Karena sanksi sosialnya sangat kejam, orangtua kita jadi sangat berhati-hati. Ini sisi positif sehingga saya mendukung tradisi ini dilestarikan," ujarnya.
Sementara itu, Indra Setia Haris, pemerhati budaya asal PALI mengatakan, maraknya pergaulan bebas dikalangan remaja dipicu oleh lemahnya penegakan hukum adat yang ada dimasyarakat.
Karena itu, sanksi sosial seperti mempermalukan pelaku dianggap sangat efektif untuk menjaga ketertiban dalam pergaulan.
Seharusnya, kata dia, hukum adat dapat dijadikan panglima di tengah masyarakat. Apalagi hukum adat tidak bertentangan dengan hukum negara.
Justru dalam hukum adat itu terkandung kearifan lokal yang lebih sesuai dengan kepribadian masyarakat.
"Sekarang lihat saja, anak-anak sekolah sudah tidak canggung lagi berduaan atau bergandengan tangan. Bahkan kehamilan di luar nikah sudah menjadi hal biasa. Inilah yang disebut pergeseran sistem nilai sosial dan moral," ujar Indra.
Ia mengaskan, sistem nilai sosial di tengah masyarakat sudah berubah. Di zaman dahulu, bertemu muka atau berduaan dengan pacar mendapat sanksi karena dianggap memalukan.
Tapi sekarang sudah tidak berlaku lagi. Para remaja justru disodori nilai-nilai yang asing bagi mereka baik oleh media massa maupun media lainnya.
"Tapi sebenarnya, meskipun disodori sistem nilai asing, kalau hukum adat dan kearifan lokal terjaga, dampak negatifnya bisa disortir," tegas Indra.
Mengubur Orangtua Hidup-hidup
Keyakinan serupa diungkapkan Matnur (60) mantan P3N yang juga pemangku adat kecamatan Penukal. Berdasarkan pengalaman Matnur selama menjadi ketib, dirinya mendapati para orang tua menjadi berhati-hati menjaga pergaulan anaknya.
"Kepada anak-anak, saya tegaskan. Jangan nanam rentuwe maseh idop (Jangan mengubur orang tua yang masih hidup). Artinya, kalau sampai anak tidak perawan lagi saat menikah, sama saja mengubur orangtuanya hidup-hidup," kata Matnur.
Karena itulah, Matnur sangat prihatin dengan pergaulan remaja yang ada sekarang. Dirinya menilai tidak adanya hukuman yang diberikan kepada pelanggar norma sosial menyebabkan pergaulan menjadi bebas.
"Ada yang menikah pagi, malamnya langsung melahirkan. Meski tidak terjadi di desa kami, tapi kejadian ini menggambarkan hukum adat yang tidak berlaku," katanya.
Soal Keperawanan, Serahkan Pada Ahlinya
Tradisi cengkung yang masih dipegang teguh sebagian kecil masyarakat di PALI menuai kontroversi. Banyak yang menolak ketika mendengar cerita tentang tradisi itu.
Alasannya, selain tak relevan dengan era sekarang, juga dianggap merendahkan kaum perempuan.
Mengenai hal ini, Hartati, dokter ahli kandungan dari RSMH Palembang angkat bicara. Ia mengatakan, penyebab tidak perawannya seorang perempuan, bukan hanya disebabkan oleh berhubungan intim, tapi bisa karena faktor lain.
Mungkin ada benda tajam atau tumpul yang menembusnya, terjatuh dan sebagainya.
"Selaput dara yang terletak di bagian vagina sangat tipis dan sangat lembut," ujar Hartati.
Menurut dia, beberapa orang mengukur keperawanan dari pernah tidaknya perempuan melakukan hubungan intim dengan lawan jenis.
Ada juga yang mengukur keperawanan dengan masih utuh tidaknya selaput dara. Jenis selaput dara juga beragam.
Jika selaput dara kaya akan pembuluh darah, otomatis ketika pecah akan terjadi pendarahan cukup banyak. Sebaliknya, jika selaput dara tersebut tidak memiliki pembuluh darah, otomatis ketika pecah juga tidak berdarah.
"Jadi bagi perempuan yang masih perawan, pandai-pandailah menjaga selaput dara. Bagi kaum lelaki, jangan menilai kesucian wanita melalui darah yang dikeluarkan ketika "malam pertama"," katanya.
Menurut Hartati, masyarakat saat ini harus berpikiran lebih terbuka dan positif, karena di era modern selaput dara bukanlah indikator utama dalam menentukan kesucian.
Sebab bisa jadi wanita tidak mempunyai selaput dara atau telah pecah disebabkan aktivitas-aktivitas harian yang telah dilakukannya.
"Jadi pikirlah dengan rasional," kata Hartati.
Ia mengatakan, kalau persoalan keperawanan menjadi sangat penting, maka akan lebih baik dikonsultasikan kepada ahlinya. Tidak dengan cara-cara yang bisa merugikan perempuan atau bahkan merendahkan martabatnya.
"Keperawanan harus dilihat dan diperiksa melalui tes medis yang dilakukan dokter ahli. Tidak bisa dilihat dari fisik saja," tegasnya.