TRIBUNNEWS.COM - Rambut berwarna pink dirasa Velicia Mayanita paling pas membingkai wajahnya.
Untuk menghasilkan warna pink yang sempurna, proses bleaching harus dilalui ibu dua anak ini. Ia memilih bleaching di salon agar hasil lebih optimal.
"Sebenarnya, bisa bleaching mandiri tapi saya tidak mau ambil risiko. Takut hasilnya kurang maksimal dan lebih takut lagi jika rambut jadi rusak," cerita wanita yang tinggal di Tembalang ini kepada Tribun Jateng.
Velicia bercerita ia sangat hobi mewarnai rambut. Kesenangan ini sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu.
Berbagai warna sudah ia coba. Mulai dari cokelat hingga silver seperti yang menurutnya menjadi tren di awal 2015.
"Namun, kata keluarga dan teman, saya paling pas memiliki rambut warna pink. Kata mereka, lebih pas untuk kulit saya yang putih. Ya sudah, sekarang warna itu yang saya pilih," imbuhnya.
Berbeda dari warna lain, untuk mendapatkan rambut warna pink, pigmen rambutnya harus dimatikan hingga warna hitam hilang dan berubah menjadi kuning pucat. Setelah itu, proses memberi warna pink pada rambut dimulai.
Velicia mengatakan, ia pernah tiga kali melakukan bleaching. Yang pertama, saat ia ingin memiliki rambut ombre.
Saat itu, tidak seluruh rambut dibleaching.
Hanya bagian puncuk agar ada gradasi. Bagian atas diwarnai cokelat dan bagian pucuk agak blonde.
Dua bleaching lagi dilakukan saat ia ingin rambutnya dicat pink.
"Jadi, dulu saya pernah memiliki rambut warna pink kemudian saya warnai lagi berganti-ganti, beberapa warna".
"Setelah orang bilang saya lebih cantik berambut pink, terpaksa harus bleaching lagi sebelum rambut dicat warna pink lagi," jelas Velicia.
Menurutnya, bleaching itu proses yang melelahkan. Selain karena rambutnya tebal, pigmen rambutnya juga termasuk kuat.
Karena itu, untuk mendapatkan warna pucat seperti yang diinginkan, ia mesti beberapa kali melalui proses bleaching.
Sejauh ini, ia tidak terlalu merasakan dampak negatif bleaching.
Rambutnya kadang memang agak kasar, namun ia yakin itu bukan semata karena bleaching melainkan banyak lagi proses kimia yang ia lakukan, termasuk sering berganti-ganti warna.
"Saya melakukan perawatan ekstra untuk menjaga kesehatan rambut. Kalau keramas wajib pakai kondisioner agar kelembaban rambut terjaga. Setelahnya, kulit kepala diberi tonik. Saya juga rutin hair spa di salon, sebulan sekali," kata Velicia.
Jika Velicia tak terlalu merasakan dampak buruk bleaching, lain lagi yang dirasakan mahasiswi Akuntasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Retno Pancasari.
Ia mengatakan, akibat bleaching, rambutnya jadi kusam, kasar dan rapuh.
Gadis asli Blora ini melakukan bleaching bersama teman-teman kost.
Mereka membeli bubuk bleching dan peroksida kemudian saling membantu mengaplikasikan campuran bahan tersebut di rambut masing-masing.
"Banyak teman saya yang bleaching mandiri, tidak ke salon. Kalau saya sekarang tidak mau lagi. Baik itu bleaching mandiri maupun di salon. Takut rambut tambah rusak," ujarnya.
Saat ini, Retno berusaha memulihkan kondisi rambut yang rusak. Ia juga ingin rambutnya yang kini berwarna agak keemasan kembali ke hitam sesuai warna asli. Sayangnya, ia harus menunggu lama.
"Katanya sih tunggu sampai rambut numbuh lagi. Mau diwarna gelap juga belum berani. Takut tambah rusak," katanya. (*)