Oleh : Hanif Kristianto
Staf Pengajar Madin Khoiru Ummah Surabaya
MASIH ingat dengan dakon, bentengan, gobak sodor, atau egrang? Barangkali anak jaman sekarang tak banyak tahu. Apalagi memainkannya. Permainan tradisional itu nasibnya kurang beruntung.
Banyak orangtua mengeluh anaknya kecanduan permainan modern. Anak lebih dekat dengan game, malas belajar, dan bertipikal keras. Bahkan kekerasan dilakukan anak-anak karena terinspirasi game.
Oleh karena itu, Rabu (21/10/2015) siswa kelas 5 Madrasah Diniyah Khoiru Ummah, mencoba bermain dolanan tradisional dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Di tanah lapang sekolah, mereka membentuk kelompok dan memainkan dakon, catur, bola bekel, dan monopoli yang mereka bekal dari rumah.
Selain dakon dan bentengan, siswa laki-laki lebih suka catur. Mereka beradu strategi untuk saling mengalahkan.
Banyak manfaat dari permainan tradisional yang tak ditemui dalam game modern.
Pertama, permainan tradisional akan membangkitkan sensor motorik yang baik untuk tumbuh kembang anak-anak. Aspek kinestetik anak akan dibangkitkan secara simultan karena ada unsur olahraga.
Kedua, permainan tradisional lebih menonjolkan kebersamaan tim dalam kenyataan.
Kedekatan pertemanan, saling bantu, dan bahu-membahu menjadi kesuksesan permainan tradisional.
Ada unsur olah jiwa dan rasa yang dibangkitkan.
Ketiga, dengan berpikir dan mencari kelengahan lawan, tak hanya butuh kepintaran, tapi juga keberuntungan.
Keempat, rasa haru, keceriaan, dan keluar keringat menjadikan anak bermental kuat dan sehat.
Berbeda dengan game modern yang hanya diminta duduk dan memainkan jari-jemarinya.
Aspek individual begitu kental. Di sisi lain, game modern yang ‘tidak edukatif’ cenderung pada kekerasan, pornoaksi, dan pornografi.
Tampaknya, permainan tradisional perlu dihidupkan kembali di lingkungan pendidikan.
Dari anak usia dini sampai pendidikan tinggi. Sudahkah sekolah Anda memainan dolanan tradisional ini?