Untuk lima hari pertama, para peneliti melakukan scan fungsional magnetic resonance imaging (fMRI) pada otak relawan saat mereka dalam keadaan istirahat.
Kemudian, selama 9 hari, para siswa diminta membaca bagian tertentu dari novel di malam hari.
Kemudian mereka diteliti lagi pada keesokan paginya.
Para siswa harus menyelesaikan beberapa soal untuk membuktikan bahwa benar mereka telah menyelesaikan bacaan yang ditugaskan.
Setelah itu, mereka kembali menjalani fMRI dalam kondisi beristirahat.
Setelah semua siswa selesai membaca Pompeii, mereka dibolehkan istirahat selama lima hari, namun mereka tetap menjalani fMRI.
Hasilnya, para peneliti mengamati ada peningkatan konektivitas di korteks temporal kiri, yang merupakan area otak yang terkait dengan pengolahan bahasa.
Berns menjelaskan, bahwa konektivitas ini tetap ada meski siswa tidak lagi membaca buku apapun.
Para peneliti juga memperhatikan peningkatan konektivitas di daerah otak yang dikenal sebagai pusat sulkus. Ini adalah daerah sensor motorik otak yang utama, yang berhubungan dengan pembentukan represntasi sensasi tubuh.
Para peneliti memberi contoh, ketika kita membayangkan gerakan berjalan, kita bisa mengaktifkan neuron di otak yang berhubungan dengan gerakan fisik yang sebenarnya dari berjalan.
Menariknya, perubahan saraf bukan merupakan reaksi instan semata tapi menetap lama jauh setelah kita selesai membaca buku.
Berns mengatakan, temuan mereka menunjukkan bahwa membaca novel dapat membawa Anda masuk ke dalam tubuh tokoh utama dan otak Anda bekerja selayaknya si tokoh tersebut.
"Dan semakin banyak buku yang Anda baca, semakin banyak tokoh yang Anda resapi, semakin meningkat juga kemampuan berbahasa dan motorik Anda," tambah Berns.(*)