TRIBUNNEWS.COM - Nyaris, makin berkurang kenyamanan dan keamanan hidup di Jakarta, meskipun itu di dalam rumah. Berapa banyak orang bunuh diri dengan cara lompat dari gedung tinggi?
Berapa banyak kasus pembegalan? Perampokan yang kejam? Itu belum bicara kebakaran dan kemacetan yang makin menambah stres!
Banyak orang telah berkorban harta dan nyawa, atau setidaknya terluka karena sering terjadi kebakaran besar di tengah malam atau diserang kawanan perampok dan begal yang makin merajalela.
Menurut statistik Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, tahun lalu saja terjadi 1.139 kasus kebakaran. Penyebab utamanya adalah korsleting listrik.
Korban tewas 20 orang, 3.618 keluarga (11.719 orang) menjadi korban, harta benda yang hangus bernilai Rp 212 miliar, dan ratusan rumah hangus terbakar.
Apakah itu salah satu pemicu semakin tingginya angka penderita stres dan gangguan jiwa di Jakarta? Kita bisa melihat, jumlah penderita gangguang jiwa yang berkeliaran di jalan terus bertambah.
Tahun lalu Dinas Sosial Pemda DKI Jakarta menjaring 2.283 penderita sakit jiwa di jalanan. Angka itu sudah meningkat 668 orang dari tahun sebelumnya.
Ibarat puncak gunung es, angka itu bisa jadi akan bertambah. Ini belum termasuk para penderita gangguan jiwa yang sesungguhnya jauh lebih tinggi, karena sebagian besar dari mereka dirawat sendiri oleh keluarganya dan tak tercatat di dinas Sosial.
Layak huni?
Tingkat stres hidup di perkotaan sangat tinggi. Itu kenyataan yang ada di Jakarta. Persaingan hidup semakin keras, dan tekanan semakin tinggi.
Data Departemen Kesehatan bahkan menyebut jumlah pasien gangguan jiwa di DKI Jakarta adalah yang terbanyak. Mencapai 2,03 persen dari jumlah penduduk di Indonesia.
Direktur Bina Upaya Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Eka Viora kepada media pernah menyebutkan bahwa masyarakat di kota besar stres akibat menghadapi beban dan tuntutan kerja, sedangkan di kota kecil karena persoalan ekonomi, seperti kemiskinan atau sulitnya mencari kerja.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyebutkan 6 persen masyarakat Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Mereka yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah orangtua, perempuan, berpendidikan dan berpenghasilan rendah, dan tinggal di kota.
Kementerian Sosial kesulitan memetakan penyandang disabilitas mental dan gangguan psikotik.
"Masih banyak anggota keluarga yang menyembunyikan keadaan tersebut,” kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Danardi Sosrosumihardjo mengatakan, stres bisa menjadi cemas atau depresi sangat bergantung pada daya tahan seseorang menghadapi tekanan dan besarnya tekanan yang terjadi. Daya tahan itu dipengaruhi faktor genetika, pola asuh, kualitas gizi, kondisi lingkungan, hingga sistem pendidikan.
Dengan semua kenyataan itu, apakah Jakarta sesungguhnya makin layak untuk dihuni? Apalagi, kota ini terus menghadapi masalah serius yang terus menggunung.
Bicara fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos) untuk hiburan masyarakat yang terus berkurang. Kemiskinan membuat ketegangan sosial yang makin sulit diredakan akibat kelangkaan ruang hidup yang sehat untuk bersoalisasi, berolahraga, belajar, berkesenian dan berbagai aktifitas kreatif lainnya. Akibatnya banyak ketegangan berubah menjadi kekerasan, baik yang bersifat pribadi maupun massal.
Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2000 menyebutkan bahwa Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah pada 2014. Meski tak sepenuhnya terbukti, namun JICA tak mengada-ada.
Buktinya, pengamatan oleh produsen GPS, TomTom, pada jam jam padat menemukan bahwa Jakarta tahun ini telah menjadi kota dengan kemacetan terparah keempat di dunia setelah Bangkok, Mexico City, dan Bucharest.
Kemacetan yang demikian hebat ini tentu saja membuat mobilitas orang Jakarta sangat lamban sehingga mempengaruhi rendahnya produktifitas mereka. Sementara itu, akibat tingkat stres yang terus meningkat, warga Jakarta makin gampang kehilangan akal sehat. Orang Jakarta jadi gampang marah, bahkan mengamuk?
Kini, jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk pulang-pergi dari dan ke tempat kerja. Itu pun masih harus menghadapi siksaan oleh sarana angkutan umum yang tidak nyamandan tidak aman.
Mereka juga harus selalu waspada dengan para pencopet dan pelecehan seksual yang selalu bergentayangan pada jam-jam padat.
Plus, yang tak kalah menyakitkan adalah kesenjangan ekonomi yang kian mencolok. Seolah tak punya simpati, kaum berduit bergaya dengan mondar-mandir menggunakan mobil mewahnya yang bak raja minyak dari Timur Tengah di jalan-jalan raya.
Di sisi lain, di pusat-pusat belanja mewah mereka suka berdandan bak selebriti Hollywood dengan aksesoris menempel di tubuhnya, seolah ingin adu pamer brand Fendi, Versace, Oscar de La Renta dan sebagainya.
Selain kaum elite ini tak perduli bahwa penampilan mereka mengundang iri dan dengki banyak orang, mereka juga sebetulnya tengah "mengundang" kejahatan.
Bagi mereka yang tak perduli dosa dan penjara, kesenjangan itu kerap menjadi pemicu untuk melakukan kejahatan, termasuk penyerangan seksual. Jangan heran, banyak orang tua di Jakarta gelisah setiap kali anak-anak mereka meninggalkan rumah.
Sampai sekarang, tak ada orang berani memberi kepastian kapan situasi menakutkan itu akan reda. Catatan polisi bahkan menunjukkan angka yang menyeramkan. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya misalnya, tahun lalu aksi kejahatan terjadi setiap 12 menit 18 detik.
Secara keseluruhan, terjadi 43.149 kasus kejahatan di sepanjang 2016. Dari fakta ini, perampokan melesat 12 persen menjadi 719 kasus, sementara perkosaan naik 6 persen menjadi 71 kasus.
Boleh jadi, kenyataan itu bisa saja jauh lebih buruk. Ini tergambar dari hasil survei Lentera Sintas Indonesia yang dirilis Juli 2017 lalu. Jumlah kasus perkosaan sesungguhnya, menurut survei ini, jauh lebih tinggi.
Buktinya, 93 persen reponden survei tidak mau melaporkan ke polisi perkosaan yang dialami. Alasan utamanya adalah takut dicemooh, bahkan dikucilkan keluarga, teman, bahkan masyarakat.
Sekali lagi, apakah Jakarta akan terus begini? Apakah Anda masih nyaman menjadi bagian Jakarta, yang sedang berkembang mengkhawatirkan? Adakah keinginan mencari kota lain yang lebih bersih, aman, dan nyaman? Bukan kota yang bak "neraka"...
Berita ini telah dinaikkan sebelumnya di Kompas.com dengan judul "Berpikir Lari dari "Neraka" Jakarta..."