News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dari Kaki Gunung Singgalang dan Marapi, Sastrawan Taufiq Ismail Membangun Rumah Puisi

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Halaman depan rumah orangtua sastrawan Taufiq Ismail di Pande Sikek, Sumatera Barat.

Laporan Reporter Tribunnews, Fikar W. Eda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Kami mengajarkan dua hal. Menumbuhkan kegemaran membaca dan melatih mahir menulis. Ya membaca, menulis, membaca, menulis," kata penyair Taufiq Ismail dalam percakapan di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Padang Panjang, Sumatera Barat, Jumat (21/12/2018) pekan lalu.

Sebagai Ketua Umum Komunitas Musikalisasi Puisi dan penyair, saya dan rombongan Deavis Sanggar Matahari, diundang ke Rumah Puisi Taufiq Ismail dalam rangka mengisi peringatan 10 Tahun Rumah Puisi. Kami berada di sana pada 21-23 Desember 2018, setelah melakukan perjalanan darat dari Jakarta, melewati Lampung, Palembang, dan Jambi.

Tiba di Padang Panjang pukul 02.00 dini hari. Disambut udara dingin khas dataran tinggi.

Sudah lama saya mendengar keberadaan Rumah Puisi Taufiq Ismail ini. Beberapa kawan penyair pernah datang dan menginap di sana. Tapi baru ini kesempatan saya datang bersama rombongan.

Rumah Puisi Taufiq Ismail didirikan 2008m berlokasi di Nagari Aie Angek, Jalan Raya Padang Panjang - Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Diapit dua gunung berapi, Singgalang dan Merapi. Dsri kaki kedua gunung berapi itu, kedua irang tua Taufiq Ismail berasal. Ibunya, bernama Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) berasal dari Pande Sikek, desa di kaki Singgalang, dan ayahnya, A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam, desa di kaki Merapi.

Tahun ini, Rumah Puisi Taufiq Ismail genap berusia 10 tahun. Taufiq mengaku sudah lama mengimpikan adanya Rumah Puisi. Tapi baru berhasil diwujudkan pada 2008.

"Saya berdoa, kiranya bisa membangun rumah puisi seperti ini. Waktu itu saya tak punya uang. Tapi akhirnya doa itu terkabul. Inilah pentingnya doa," kata Taufiq Ismail. Kami sarapan di ruang makan Rumah Puisi.

Ketika itu, Taufiq mendapat Habibie Award disertai uang 25 ribu dolar AS. "Dengan uang itulah Rumah Puisi ini dibangun," kata Taufiq.

Rumah Puisi dibangun permanen. Letaknya di sebuah bukit di areal 6000 meter. Di dalamnya terdapat koleksi 7000 buku milik Taufiq Ismail.

Rumah Puisi membentuk Sanggar Sastra. Melatih siswa dari empat Sekolah Menengah Atas atau SMA dari Padang Panjang, Bukit Tinggi,dan Koto Baru.

"Kelas membaca dan menulis" diselenggarakan tiap pekan. Selain itu, juga ada kelas Tahfidz Quran.

Dalam rangka perayaan 10 Tahun Rumah Puisi tahu ini, dihadirkan Deavis Sanggar Matahari bersama Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia, memberikan pelatihan musikalisasi puisi. Diikuti 80 peserta, terdiri dari guru-guru SMA se Sumatera Barat.

Tujuannya memberi pemahaman tentang musikalisasi puisi, yang telah masuk dalam kurikulum sekolah menengah. Para guru seni di sekolah, banyak yang belum paham bagaimana musikalisasi puisi itu diciptakan.

"Kami datang memberi pelatihan, guna memberi tambahan wawasan tentang musikalisasi puisi," kata Devie Komala Syahni dari Sanggar Matahari.

Ia hadir bersama ke empat saudara kandungnya, Dediesputra, Deni Syahnila Putra, Herie Syahnila Putra, dan Irma Komala Syahni. Kegiatan pelatihan musikalisasi puisi sebelumnya sudah dilakukan di Jakarta, Bogor, Aceh, Sumut, Bekasi dan banyak lagi.

Di tempat itu, Rumah Puisi tak sendiri. Ia ditemani Rumah Budaya Fadli Pon, milik keponakan Taufiq Ismail, Fadli Zon, yang juga sarjana sastra dan politisi ternama. Rumah Budaya menyediakan fasilitas penginapan, museum dan perpustakaan koleksi Fadli Zon.

Rumah Budaya Fadli Zon juga tak pernah sepi. Terutama akhir pekan dan musim liburan. Pengunjung bisa menikmati koleksi pustaka dan benda-benda budaya lainnya.

"Ketika Rumah Puisi selesai dibangun, keponakan saya, Fadli Zon datang bertanya. Om apa yang bisa saya bantu? Saya katakan orang yang datang ke Rumah Puisi perlu menginap. Begitulah lalu Fadli membangun penginapan dan minta izin namanya jadi Rumah Budaya. Ya tidak apa-apa," ujar Taufiq mengenai riwayat Rumah Budaya Fadli Zon.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga tidak tinggal diam. Ikut membantu membiayai tenaga dan staf perpustakaan Rumah Puisi.

"Itu berkat keulatan perempuan mengenakan penutup kepala merah itu," lanjut Taufiq sambil menunjuk Ati Ismail, perempuan yang mendampinginya selama ini.

Ati Ismail tampak sedang sibuk mempersilakan tamu-tamunya sarapan pagi. Selain saya dan keluarga Deavis Sanggar Matahari, juga ada penyair Jamal D. Rahman dan tokoh teater Bandung Iman Soleh yang datang bersama istri, serta pengacara yang penyair Abrori Djabbar.

Kata Taufiq Ismail, suatu ketika istrinya itu melaporkan keberadaan Rumah Puisi kepada Pemerintah Sumbar. Lalu pemerintah tergerak membantu. "Kalau kami yang biayai sendiri tentu tak ada dana," katanya.

Rumah Puisi Taufiq Ismail terbagi kepada beberapa ruangan. Ada ruangan berisi buku tersusun rapi lengkap dengan penomorannya. Juga ada ruang pertemuan, ruang makan, kamar tidur dan dapur.

"Itu kamar saya," kata Taufiq Ismail menunjuk salah satu kamar, saat saya tanya dimana ia menginap selama di Padang Panjang.

Taufiq Ismail tiap bulan datang ke Rumah Puisi menerima tamu, membuat pertemuan dan beberapa kegiatan lainnya. Dari Padang, bisa dicapai dalan waktu 2 jam untuk sampai ke Rumah Puisi.

Kebetulan hari itu Jumat. Penyair yang sangat mudah terharu ini, mengajak kami shalat Jumat di Masjid Haji Miskin, di Kampung Pande Sikek sekitar 2-3 Km dari Rumah Puisi.

Kami mengendarai mobil sedan merah, dikemudikan Mas Eki, suami dari Ibu Huri Yani, pegawai Balai Pustaka dan pembina Sanggar Sastra Balai Pustaka.

Mas Eki dan Ibu Huri Yani, datang ke Rumah Puisi dalam rangka 10 Tahun Rumah Puisi. Selain saya dan Taufiq Ismail, juga ada penyair Jamal D. Rahman, duduk di jok belakang bersama saya. Taufiq Ismail mengenakan pakaian putih, duduk di jok depan, samping Mas Eki.

Sepanjang perjalanan menuju masjid, Taufiq Ismail menceritakan sosok Haji Miskin. Salah seorang tokoh pergerakan Minang menentang kolonialis Belanda. Haji Miskin berasal dari Kampung Pande Sikek, sekampung dengan ibundanya. Ia hidup di abad 19.

Kata Taufiq Ismail, Haji Miskin memperdalam ilmu agama di Mekkah dan Madinah, bersama dua tokoh Minang lainnya, Haji Piobang dan Haji Sumanik.

Pulang ke Minang, ketiganya menghadapi cengkraman kolonialis Belanda. Mereka lalu mengorganisir gerakan menantang penjajahan.

Salah seorang "murid" Haji Miskin, Peto Syarif, sangat mahir membentuk pertahanan. Dialah yang membangun benteng menahan serbuan Belanda. Peto Syarif juga seorang alim dan pemimpin pergerakan perlawanan gigih, yang kelak terkenal sebagai Imam Bonjol, satu dari sepuluh murid Haji Miskin.

Haji Miskin sendiri ditangkap dan dihukum gantung oleh Belanda. Almarhum dimakamkan di Pande Sikek, di sebuah bukit kecil, yang sekarang dijadikan cagar budaya.

Taufiq Ismail menunjukkan letak makam, dan saat pulang Jumatan, kami membacakan Alfatihah untuk Haji Miskin. Taufiq juga menunjukkan tempat bale-bale pertemuan Haji Miskin dengan masyarakat yang ikut dibakar Belanda.

Tak jauh dari Masjid Haji Miskin, Taufiq Ismail menunjuk lagi sebuah rumah kayu. "Itu rumah kami. Saya waktu kecil di sini," kenang Taufiq Ismail. Kami berhenti di rumah itu dan berfoto.

Taufiq Ismail menceritakan, keduanya orang tuanya, tinggal di rumah itu. Sebelum kemudian "diusir" Belanda ke Pekalongan, karena terlibat dalam gerakan melawan Belanda.

Ayahanda Taufiq Ismail, A. Gaffar Ismail dan ibunya adalah tokoh muda pergerakan melawan Belanda, selain berprofesi sebagai guru.
Ayab Taufiq dan Ibunya juga ditangkap Belanda dan diasingkan ke lar Tanah Minang.

"Tapi karena waktu itu ayah saya masih berusia di bawah 21 tahun, Belanda mempersilakan memilih tempat mana yang akan menjadi tempat tinggal barunya, yang penting keluar dari Tanah Minang. Ayah saya lalu memilih Pekalongan," cerita Taufiq.

Di tempat baru itu lahirlah anak pertama pasangan A. Gaffar Ismail dan Sitti Nur Muhammad Nur. Bayinya diberi nama Taufiq Ismail. Tapi ketika berusia tiga bulan, bayi itu meninggal dunia.

Setahun kemudian, Sitti Nur Muhammad Nur mengandung anak kedua. Keluarga dan famili, menyarankan agar melahirkan di kampung saja. Usul dan nasihat tersebut dituruti. Sitti Nur Muhammad Nur diantar pulang ke kampung. Sementara A. Gaffar Ismail tetap di Pekalongan. Sitti kembali melahirkan bayi laki-laki, di Bukit Tinggi pada tanggal 25 Juni 1935.

"Ayah saya dari Pekalongan mengatakan agar bayi yang lahir itu diberi nama Taufiq Ismail. Tapi ditentang oleh keluarga di kampung, alasannya umur bayi itu singkat kalau namanya sama dengan nama anak pertama yang sudah meninggal. Tapi ayah saya tetap dengan keputusannya, dan mengatakan bahwa panjang pendeknya usia manusia tidak ditentukan oleh nama. Melainkan ditentukan oleh Allah SWT. Dan bayi itu, sekarang berusia 83 tahun, saat ini sedang berdiri di sini," kata Taufiq Ismail menceritakan sepenggal kisah hidupnya.

Ia sampaikan cerita itu persis saat berdiri di depan rumahnya di Pande Sikek. Kami tersenyum mendengar kisah itu. Taufiq juga senyum dan tertawa kecil.

Taufiq melalui masa usia pra sekolah di Pekalongan. Lalu Sekolah Rakyat (SR) di Solo. Pindah ke Semarang, Salatiga dan tamat SR di Yogyakarta.

Ketika menanjak remaja, Taufiq pindah ke Bukit Tinggi, masuk sekolah menengah pertama. Sekolah Menengah Atas atau SMA dilanjutkan di Bogor dan kemudian balik lagi ke Pekalongan.

Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service International School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia.

Selesai dari sana, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun 1963.

Saat usia 13 tahun, dan duduk di SMP Bukit Tinggi, Taufiq ikut mengungsi ke Gunung Singgalang. Masa itu keadaan Tanah Minang terus bergolak melakukan perlawanan terhadap penjajah kolonialis.

Pande Sikek dibakar Belanda. Pertempuran terjadi antara Padang Panjang dan Bukit Tinggi. Taufiq bersama penduduk Pande Sikek naik ke Singgalang.

"Saya ingat betul, saya bawa nasi bungkus," kisah Taufiq Ismail ketika mengawali peringatan 10 Tahun Rumah Puisi ke esokan harinya, 23 Desember 2018.

Ruamah Puisi Taufiq Ismail dipenuhi pula dengan berbagai kutipan puisi dari penyair-penyair Indonesia dan penukis dunia. Tentu, juga beberapa penggalan puisi Taufiq Ismail sendiri.

Baca: Olla Ramlan Enggan Berkomentar Terkait Kasus Endorsing Produk Kosmetik

Di ruangan tengah terpampang sebuah perbandingan tugas membaca buku sastra di 13 negara di dunia. Sejak 1943 sampai Rumah Puisi didirikan pada 2008, tugas membaca buku sastra di SMA Indonesia berjumlah nol buku.

Sementara saat Indonesia di jaman Hindia Belanda, buku wajib yang dibaca siswa setingkat SMA berjumlah 25 judul. Tugas menulis karangan mencapai 36 karangan setahun.

"Sekarang tugas menulis sudah mirip Shalat Idul Fitri, yakni hanya setahun sekali." demikian bunyi kalimat di dinding itu.

Baca: Bersama Kawan-kawannya, Ali Nekat Berselancar di Pantai Carita Pasca Tsunami

"Rumah Puisi ini hanya mengajarkan dua hal. Menumbuhkan kegemaran membaca, dan mendidik mahir menulis," ulang Taufiq Ismail mengenai program Rumah Puisi itu.

Di halaman Rumah Puisi terdapat sepeda dengan bunga, dan sangkar burung juga berisi bunga. Bukan bunga plastik. Melainkan bunga asli. Sebagai penyair, saya kemudian menuliskan pemandangan puitis ini sebagai berikut:

BUNGA DI BONCENGAN SEPEDA

Bunga di boncengan sepeda putih, bertasbih sepanjang hari.

Bunga dalam sebelas sangkar putih, berdoa jernih dan wangi.

Singgalang berkabut, Merapi juga berkabut Dari pucuk keduanya menjulur puisi,

Kiranya tak habis-habisnya, Kiranya tak putus-putusnya, Langit mendengarkan.

(Fikar W.Eda/22-23/12/2018)

Masih dalam rangkaian perayaan 10 Tahun Rumah Puisi, Taufiq Ismail meluncurkan antologi puisi "Debu di Atas Debu" yang sudah diterjemahkan dalam 11 bahasa dunia, yakni Inggris, Arab, Belanda, Jerman, Prancis, Persia, Bosnia, Rusia, Korea, Jepang, dan Tionghoa.

Buku-buki puisi karya Taufiq Ismail sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.

Hadir juga dalam peluncuran itu Direktur Utama PT. Balai Pustaka, Achmad Fachrodji, beberapa sastrawan Sumatera Barat serta sejumlah tamu undangan. Termasuk Ibunda Anis Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.

Penyair Jamal D Rahman yang juga pimpinan redaksi majalah sastra Horison, mengatakan, boleh jadi penyair Taufiq Ismail yang paling banyak karyanya diterjemahkan dalam bahasa asing.

Salah satu puisi Taufiq Ismail, "Dengan Puisi, Aku" juga telah diterjemahkan dalam 52 bahasa dunia dan 22 bahasa daerah di Indonesia, salah satunya dalam bahasa Minang.

"Pak Taufiq Ismail adalah salah seorang sastrawan produktif yang terus menyemangati generasi muda. Kami beruntung, Balai Pustaka ikut menerbirtkan karya Pak Taufiq yang diluncur ini," kata Dirut Balai Pustaka Achmad Fachrodji.

Devie Komala Syahni dari Sanggar Matahari menyebut Taufiq Ismail sebagai salah seorang yang konsisten dan terus memikirkan nasib bangsanya.

"Mendirikan Rumah Puisi adalah contoh konkret dari semangat Pak Taufiq Ismail mewariskan peradaban kepada generasi muda bangsa ini," kata Devi.

Dalam kesempatan itu, Deavis Sanggar Matahari membawakan dua musikalisasi puisi "Karangan Bunga" dan "Doa" ciptaan Taufiq Ismail.

Tokoh teater Bandung, Iman Soleh membacakan salah satu puisi karya Taufiq Ismail yang ditulis untuk istrinya Ati Ismail. Saya sendiri membacakan Bunga di atas Sepeda Rumah Puisi dan Ranah Minang.

Malamnya, digelar pernainan "KIM" satu jenis permainan gembira tradisi Minang. Ini juga bagian dari perayaan 10 Tahun Rumah Puisi. Angka disusun melalui nyanyi. Yang lebih awal melengkapi susunan angka, mendapat cendramata. Malam itu, hadiahnya buku dan sajadah. Semuanya gembira.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini