Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Pagi ini tiga perempuan paruh baya duduk bersila beralaskan tikar dihadapan papang tekang, di halaman rumah Redawati (40), Rabu (20/3/2019).
Tangan ibu-ibu yang tinggal di Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung itu tcekatan menyulam kain menjadi motif Tapis.
Baca: Yuki Kato Koleksi Kain Tradisional
Papang tekang merupakan alat yang terbuat dari kayu, yang berfungsi untuk meregangkan dan mengkaitkan kain agar jarum mudah masuk.
Koordinator pengrajin kain Tapis, Redawati mengatakan, kegiatan menapis pada awalnya hanya menjadi pekerjaan sambilan warga desa.
Baca: Fifi Lety Didesak BTP Tak Pakai Namanya Lagi untuk Usaha Keluarga, Harry: Namanya Ahok cuma 1 Orang?
Namun kini, berubah menjadi mata pencaharian.
"Satu kampung, satu desa, rata-rata menapis. Bahkan satu rumah saja ada empat orang yang bisa menapis," ujar Redawati.
Ia mengatakan, kini ada sekitar 100 orang baik perempuan dan laki-laki yang menjadi pengrajin kain tapis dan dibina dalam kelompok pengrajin kain Tapis "Jejama", yang memiliki arti dikerjakan bersama-sama.
"Sekarang anak-anak muda di Desa Katon antusias menapis, bahkan ada yang dari kecil, karena melihat ibunya (menapis), mengalir saja," kata dia.
Baca: Ditawari Gratis Kenari hingga Kain dari Pengusaha Dekranasda Maluku, Ibu Negara Justru Pilih Membeli
Perempuan berhijab ini menuturkan, dari menapis itu menghasilkan sejumlah barang yang dimodifikasi, menjadi syal, selendang, tas, songkok, jilbab, maupun baju.
"Harganya mulai dari 50 ribu sampai 1,3 juta untuk kainnya sendiri. Kemudian untuk tas 150 hingga 250 ribu, dan baju bisa sampai 9 juta," ungkap Redawati.
Dibantu Pemerintah dan Swasta
Redawati berkisah, tak mudah mengembangkan usaha kain Tapis ini.
Kelompoknya mengalami kesulitan dalam hal permodalan dan pemasaran.
Baca: Pernikahan Mewah Sapi Hingga Kain Sari Kekinian, Inilah 7 Hal Unik dari India