TRIBUNNEWS.COM - Kasus bullying di sekolah mungkin sudah tidak terdengar asing lagi.
Dikutip dari Kompas.com, bullying, perisakan, atau perundungan, merupakan tindakan agresif yang dilakukan secara verbal maupun fisik, yang sifatnya menganggu, merusak, maupun melukai orang lain.
Perundungan dapat berbentuk ejekan, cemoohan, ancaman, meminta barang atau uang dengan paksa, maupun kekerasan fisik.
Korban bullying yang tidak dibantu dapat menderita kondisi depresi, gangguan kecemasan, bahkan mungkin berkeinginan untuk bunuh diri.
Untuk mengantisipasi kemungkinan buruk tersebut Psikolog Anak dan Keluarga dari Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Adib Setiawan, S. Psi., M. Psi, memberikan beberapa tips agar anak tidak menjadi korban bullying.
Berikut solusi agar anak tidak menjadi korban bullying di sekolah menurut Psikolog Adib.
1. Jangan memanjakan anak
Psikolog dari praktekpsikolog.com itu menyebutkan, seorang anak yang terlalu dimanja lebih rentan menjadi korban bullying.
Pasalnya, anak yang merasa selalu mendapat segala sesuatu di rumah akan mengalami kesulitan memecahkan masalah saat menghadapi orang lain.
"Karena anak terlalu dimanjakan, anak menjadi tidak bisa memecahkan masalah ketika menghadapi orang lain," kata Adib saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (9/12/2019).
"Misalkan, ketika mau minum diambilin orang tua, mau makan harus diambilin atau disuapin, mau mainan langsung dikasih orangtuanya," sambungnya.
Adib menambahkan hal tersebut akan menjadi pemicu seorang anak menjadi korban bullying saat dirinya merasa tidak mendapatkan semua keinginannya, seperti di rumah, saat mereka di sekolah.
"Ketika di sekolah (anak berpikir) ternyata kok tidak bisa mendapatkan sesuatu yang diharapkan, lalu ketika dia mengatur-atur temannya malah, nah seperti itu," jelas Adib.
Sementara itu, Adib menuturkan adanya kemungkinan seorang anak menjadi korban bullying karena ada temannya yang dididik dengan pola asuh otoriter dan keras.
"Ada siswa lain yang orangtuanya itu suka mukulin anak, misalnya nggak mau belajar, dipukul, sehingga ketika di sekolah, anak yang mendapat pola asuh kekerasan ini akan memukul temannya yang lain ketika di sekolah," ujar Adib.
"Barangkali pola asuhnya sudah baik, tidak dimanja, kebetulan saja di situ ada siswa yang ketika di rumah dilatih dengan kekerasan sehingga dia mengira penyelesaian masalah di sekolah itu harus dengan kekerasan," sambungnya.
Psikolog dari Bintaro, Jakarta Selatan itu menambahkan, anak yang mendapat pola asuh otoriter dan keras tersebut kemungkinan akan cenderung melakukan kekerasan terhadap temannya, termasuk mengejek, dsb.
2. Anak perlu bermain dengan teman-temannya di usia balita
Adib menjelaskan, orangtua perlu mengajak anak-anaknya yang masih balita untuk bermain keluar.
Hal itu diperlukan agar sang anak dapat berlatih dalam berinteraksi sosial.
"Ketika di usia balita, anak tidak boleh keluar misalnya, anak sering di rumah saja, nanti ketika bertemu dengan teman maka interaksi sosialnya dengan teman itu kurang," jelas Adib.
3. Melatih keterampilan kognitif
Psikolog Anak dan Keluarga itu menuturkan, orangtua harus dapat mengasah seluruh keterampilan anak, termasuk keterampilan berpikir atau kognitif ini.
Menurutnya, keterampilan kognitif seorang anak dapat dilatih dengan mengajaknya bermain puzzle atau lego.
4. Melatih keterampilan bahasa
Selain melatih keterampilan kognitif, orang tua juga perlu mengasah keterampilan bahasa atau keterampilan berbicara seorang anak.
"Melatih anak ngomong, memiliki kosa katanya banyak," ujar Adib.
5. Melatih keterampilan motorik
Tak hanya itu. Keterampilan motorik juga perlu dilatih ke anak.
Keterampilan motorik tersebut dapat berupa motorik kasar maupun motorik halus.
"Kalau keterampilan motorik kasar itu seperti lari atau lompat," kata Adib.
"Sedangkan keterampilan motorik halus contohnya keterampilan menulis," sambungnya.
6. Melatih keterampilan emosi
Keterampilan emosi juga menjadi hal yang penting dalam mendidik anak.
Menurut Adib, orangtua perlu melatih keterampilan emosi anak agar anak tersebut dapat mengendalikan emosinya.
"Ketika di rumah, bagaimana caranya anak tidak mudah tersinggung ketika dinasihati, tidak mudah marah, tidak mudah memukul," jelas Adib.
6. Melatih keterampilan sosial
Bukan itu saja, melatih keterampilan sosial juga tak kalah pentingnya.
Menurut Adib, keterampilan ini dapat dilatih dengan mengajak anak untuk dapat bekerjasama dengan temannya.
"Misalnya dia punya teman, bisa bekerjasama dengan teman, bisa bermain peran pura-pura menjadi dokter, pura-pura menjadi pasien," kata Adib.
7. Melatih empati
Selanjutnya yaitu melatih anak untuk berempati.
Keterampilan ini dapat dilatih dengan mengajarkan anak berbagi dan membiasakannya mengucap terima kasih hingga meminta maaf saat berbuat salah.
"Ketika punya minum dibagi, atau temannya dibikinin misalnya, itu melatih empati bisa berbagi dengan yang lain," jelas Adib.
"Lalu mengajarkan mengucapkan terima kasih, mudah memafkan, dan meminta maaf jika salah," sambungnya.
8. Pihak sekolah benar-benar ramah terhadap anak
Menurut Adib, sekolah yang ramah terhadap anak merupakan sekolah yang memiliki perimbangan antara jumlah guru dan muridnya.
"Artinya, jumlah guru dan siswa itu seimbang," kata Adib.
"Kalau satu guru banding 40 siswa itu kebanyakan, kalau bisa satu guru banding 25 siswa, itu masih wajar," sambungnya.
Adib menuturkan, dengan menerapkan keterampilan tersebut pada anak, maka kemungkinan seorang anak menjadi korban bullying sangatlah kecil.
"Kemungkinan kalau punya keterampilan ini, kemungkinan bullying sangat kecil ya," kata Adib.
Adib menambahkan, orangtua sebaiknya tidak melakukan kekerasan pada anak karena hal itu akan sangat mempengaruhi perilaku anak dalam menyikapi teman-temannya.
Seorang anak yang terbiasa menerima kekerasan di rumah, akan melakukan kekerasan pula pada teman-temannya.
'"Kalau ada kekerasan terhadap anak, orang tuanya juga perlu konseling supaya anaknya tidak melakukan kekerasan pada orang lain," ujar Adib. (Tribunnews.com/Widyadewi Metta) (Kompas.com)