Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menu masakan orang Indonesia tidak jauh dari gorengan. Padahal, banyak risiko di balik kenikmatannya. Bagaimana agar tetap makan enak tanpa takut dampaknya?
Ya, makanan yang digoreng seolah jadi favorit.
Bahkan memasak berkuahpun seringkali didahului ditumis dengan minyak tentunya. Seperti memasak soto, gulai, dan lodeh.
Padahal, minyak goreng jadi salah satu sumber lemak yang mesti dibatasi asupannya.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI memberi saran batasan penggunaan gula, garam, dan lemak. Batas konsumsi gula per orang per hari yaitu 50 gram (4 sendok makan), 2000 miligram natrium/sodium atau 5 gram garam (1 sendok teh) dan untuk lemak hanya 67 gram (5 sendok makan minyak).
Pembatasan ini harus jadi perhatian. Terlebih dimasa pandemi, di mana menjaga kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh sangat penting.
Selain itu, untuk menghindari penularan, kita juga disarankan untuk lebih banyak berada di rumah saja.
Namun, ada risiko kesehatan saat isolasi diri di rumah meliputi pola makan melebihi batas kalori dan cenderung kurang bergerak.
Selama pandemi, ada dua 'kubu' dalam hal menyediakan makanan di rumah. Ada yang lebih sering memasak. Tapi ada juga yang lebih sering membeli dengan kemudahan lewat daring.
Padahal pola makan harusnya menjadi bagian gaya hidup yang prioritas diperhatikan untuk mempertahan kesehatan tubuh tetap optimal.
Efek jangka panjang dari pola makan asal-asalan adalah meningkatnya risiko terpapar masalah kesehatan seperti kolestrol tinggi, terutama bagi mereka yang mempunyai potensi kolesterol tinggi seperti pada kelompok usia 40 tahun keatas.
Ahli gizi & nutrisi Seala Septiani, S.Gz, M.Gizi mengatakan masyarakat seringkali menghubungkan masalah kolesterol tinggi dengan menghindari makanan tertentu, terutama yang diolah dengan digoreng.
Anehnya, kebiasaan untuk berhenti makan “gorengan” sulit sekali dilakukan orang Indonesia karena sudah dianggap sebagai bagian dari menu sehari-hari.
Seala menyarankan, dari sudut pandang ahli gizi, memasak sendiri merupakan gaya hidup terbaik karena karena memudahkan kontrol atas apa yang diasup sehari-hari.
“Kunci pola makan baik adalah makan seimbang, jenis makanan variatif, porsinya tepat tidak berlebihan, sehingga semua kebutuhan nutrisi dalam satu hari sangat mungkin terpenuhi dari makanan sehari-hari. Untuk menjaga kolestrol tubuh, aktivitas fisik juga penting diperhatikan," ujar Seala saat menjadi pembicara di media session dengan tema Nutrisi dan Proteksi Untuk Kolesterol di Masa Pandemi, belum lama ini.
Mengenai pembatasan lemak pada konsumsi harian, selain membatasi makanan yang berlemak, juga memilih minyak goreng yang mengandung lemak baik bagi tubuh.
"Minyak goreng terbuat dari bahan nabati yang bebas kolestrol. Akan tetapi yang diperhatikan juga adalah apa yang menjadi bahan untuk digoreng," katanya.
Bahkan beberapa minyak adalah sumber lemak baik bagi tubuh, yaitu PUFA dan MUFA, yang di dunia medis dianggap jenis asam lemak terbaik dengan manfaat untuk pencegahan penyakit degenerative misalnya Jantung dan stroke.
Minyak Goreng Dari Kedelai
Nuri Rialen selaku Head of Marketing Sania Royal mengatakan, biasanya orang dengan usia 40 tahun ke atas sudah mulai merasakan efek kolesterol. Terlebih lagi orang Indonesia suka sekali makan gorengan.
Kenyataan itu mendorong diproduksi minyak goreng sehat. Sania Royale Soya Oil diproduksi dari 100 persen kacang kedelai alami.
Menggunakan teknologi High Smoke Point, yaitu kemampuan mencapai titik berasap hingga suhu suhu 230°C sebelum komponen minyak pecah sehingga menjadi jenuh dan berubah menjadi komponen radikal bebas.