Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,
Dalam salah satu kitabnya yang masyhur, Fihi ma Fihi, Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar yang lahir di Samarkand pada tahun 604 Hijriyah atau 1207 Masehi menuturkan sebuah kisah tentang seorang penguasa di kota Rum.
Pada suatu saat sang penguasa berdialog dengan Jalaluddin Rumi, mungkin juga disaksikan oleh sejumlah pengikut sang penguasa. Ia memulai dialog dengan mengucapkan,
“Pada zaman dahulu orang kafir menyembah berhala dan bersujud kepadanya. Kini, kita melakukan hal yang sama. Kita pergi dan bersujud kepada bangsa Mongol. Kita melayani mereka. Namun, di luar pelayanan yang kita lakukan kepada mereka itu, dalam hati kita masing-masing, ternyata kita memiliki berhala-berhala lainnya, seperti ketamakan, hasrat nafsu, dendam dan kedengkian yang sadar atau tidak, semua kita patuhi… Lalu masih pantaskah kita mengaku sebagai Muslim?”
Mendengar perkataan itu, Rumi menjawab: “Namun ada yang berbeda di sini. Dalam pikiranmu terlintas pandangan bahwa perilaku semacam itu sungguh buruk dan tak bisa diterima. Itu terjadi karena mata hatimu telah melihat sesuatu yang agung sehingga kau bisa menunjukkan mana yang baik dan mana yang keji. Air asin akan terasa asin bagi lidah yang pernah meneguk air manis. Sesuatu menjadi jelas setelah melihat kebalikannya. Demikian Allah menanamkan cahaya iman dalam jiwamu, sehingga kau bisa melihat hakikat sebuah perbuatan…”
Hadlirin jamaah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah,
Dari dialog itu terungkap, bahwa sang penguasa dengan sangat baik menggambarkan berhala-berhala dalam diri manusia.
Sementara Jalaluddin Rumi melihat masuknya cahaya ilahiyah ke dalam jiwa sang penguasa, sehingga ia mampu membedakan dua hal yang bertentangan dan mengambil sikap atasnya.
Jika kita hubungkan dengan puasa Ramadhan yang baru saja kita jalankan, percakapan ini memiliki relevansi yang sangat tinggi. Setidaknya ada pelajaran tentang dua kesadaran yang bisa kita petik darinya.
Pertama, kesadaran sang penguasa akan adanya berhala-berhala dalam diri manusia adalah sebuah kesadaran simbolik akan kerentanan jiwa manusia untuk jatuh ke dalam fatamorgana dunia. Lebih jauh, kesadaran itu mengajak untuk mengindentifikasi berhala-berhala apakah yang ada dalam kita.
Setiap diri kita pastilah menyimpan berhala-berhala dalam diri, entah itu berhala dalam wujud ketamakan, sulit untuk bersyukur, kecemburuan individual dan sosial, atau perasaan tak pernah puas dalam memenuhi dahaga atas hasrat duniawi. Namun, apakah tepatnya berhala-berhala yang bersemayam dalam diri kita itu, hanya masing-masing individu yang mengetahuinya, melalui perenungan dan refleksi diri yang mendalam.
Singkat kata, aneka berhala dalam kehidupan manusia itu, bertumpu kepada satu sikap, yakni kecintaan yang berlebih pada hal-hal yang berbau duniawi.
Sesungguhnya, hal itu sama sekali tak menyalahi kodrat kemanusiaan. Karena cinta kepada hal-hal duniawi adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai perhiasan. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Alu Imran ayat 14:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ.