TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Produk tembakau alternatif seringkali dinilai memiliki tingkat risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rokok.
Namun, anggapan tersebut keliru. Faktanya, produk hasil dari pengembangan inovasi serta teknologi ini justru memiliki profil risiko yang lebih rendah.
Hal tersebut dibuktikan melalui kajian ilmiah yang dipublikasikan Prof. Dr. drg Achmad Syawqie, M.S. dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) di International Journal of Clinical Dentistry.
Dalam riset yang bertajuk “The Genotoxic Potential of Electronic Cigarettes on Micronucleus Count: A Preliminary Study”, penelitian dilakukan terhadap 15 responden yang merupakan mantan perokok dan kini telah menggunakan produk tembakau alternatif minimal satu tahun, 20 responden perokok, dan 20 respon non-perokok.
“Kami melakukan penelitian ini untuk mencari tahu seberapa besar pengaruh penggunaan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, jika dibandingkan dengan rokok terhadap potensi genotoksik salah satunya pada mukosa bukal di rongga mulut.
Baca juga: Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Kemenkes Targetkan 5 Juta Orang Berhenti Merokok
Hasilnya justru menunjukkan bahwa produk tembakau alternatif memiliki potensi genotoksik yang lebih rendah,” katanya saat dihubungi wartawan.
Potensi genotoksik merupakan potensi terjadinya kerusakan genetika ditandai dengan perubahan sel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah inti sel kecil pengguna produk tembakau alternatif dan non-perokok masuk dalam kategori normal, yang berkisar pada angka 76-85.
Adapun jumlah inti sel kecil pengguna rokok aktif dalam kategori tinggi yakni sebanyak 145,1.
Jumlah inti sel kecil yang semakin banyak menunjukkan ketidakstabilan sel akibat paparan terhadap senyawa toksik yang merupakan indikator terjadinya kanker di rongga mulut.
Dengan rendahnya potensi genotoksik dari produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, Syawqie mengatakan produk tersebut layak menjadi pilihan alternatif bagi perokok dewasa untuk berhenti merokok secara bertahap.
“Angka perokok dewasa kita yang masih tinggi dikarenakan sampai saat ini pemerintah belum menyediakan solusi lain seperti produk tembakau alternatif.
Pemerintah harus mulai mendorong produk ini karena perokok dewasa akan sangat kesulitan jika disuruh berhenti merokok secara langsung,” ujarnya.
Selain itu, hasil temuan ini diperlukan penelitian lebih lanjut.
Syawqie melanjutkan pemerintah bisa mengikuti jejak Inggris, Jepang, dan Selandia Baru yang sudah lebih dulu mendorong penggunaan produk tembakau alternatif untuk menekan jumlah perokok dewasa aktif.
“Jika produk ini dianggap lebih berbahaya dari rokok, seharusnya negara-negara tersebut tidak mendayagunakannya dalam mengatasi epidemi kebiasaan merokok.
Itu membuktikan bahwa produk tembakau alternatif dijadikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,” tegasnya.
Kepercayaan negara-negara tersebut terhadap produk tembakau alternatif setelah mempertimbangkan sejumlah kajian ilmiah, salah satunya adalah riset yang dilakukan badan eksekutif dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, Public Health England, yang berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018” yang baru-baru ini kembali diperbaharui. Riset tersebut menyatakan bahwa profil risiko produk tembakau alternatif 95% lebih rendah daripada rokok.
“Kajian ilmiah produk tembakau alternatif di Indonesia sampai saat ini masih minim sehingga pemerintah pun belum berani untuk memanfaatkan produk ini dalam mengatasi epidemi merokok.
Kajian ilmiah di dalam negeri harus diperbanyak agar memberikan informasi yang menyeluruh kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan mengenai potensi dari produk tembakau alternatif,” kata Syawqie.