TRIBUNNEWS.COM - Ketika pertama kali film Titanic ditayangkan pada akhir tahun 1997, sambutan yang diterimanya begitu gegap gempita.
Para sineas memujinya sebagai sinema terbaik, karya terhebat, juga film yang dibuat dengan cerdas dan mengagumkan.
Tak tanggung-tanggung, 4 penghargaan Golden Globe dan 11 piala Oscar pun berhasil diboyong.
Baca juga: Serunya Belajar dari Komik Pendidikan, Yuk Dipilih, Juga Ada Format Ebook
Baca juga: Novel Anak Seru, Pas Banget untuk Bacaan Saat Akhir Pekan di Rumah Saja
Belum lagi sederet penghargaan lainnya yang daftarnya terlalu panjang untuk disebutkan.
Tak ayal, kepopuleran itu membuat sejarah kapal Titanic dikenal cukup luas.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kapal mewah yang digadang-gadang mustahil tenggelam itu ternyata mengalami nasib buruk pada pelayaran pertamanya, hantaman ke gunung es membuatnya karam dan menewaskan 1.500 penumpang.
Baca juga: Sejarah Hari Ini, 15 April: Peristiwa Tenggelamnya Kapal Titanic
Peristiwa itu pun dianggap sebagai salah satu tragedi paling terkenal dalam sejarah dunia maritim.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa tiga puluh tiga tahun setelah Titanic terkubur di samudera, ada satu kapal mewah lain yang mengalami kejadian serupa, bahkan dengan nasib yang jauh lebih tragis.
Wilhelm Gustloff adalah kapal pesiar asal Jerman yang awalnya dijadikan arena berlibur bagi para pendukung Nazi.
Namun, di tengah kecamuk Perang Dunia II, kapal tersebut dialihfungsikan menjadi armada pembantu perang.
Hingga akhirnya, pada tahun 1945, Wilhelm Gustloff ditugaskan untuk mengangkut pengungsi dari Pelabuhan Gotenhafen di Prusia Timur ke Jerman.
Kisah tentang Wilhelm Gustloff jarang dicantumkan dalam buku-buku sejarah.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa itu terjadi karena Adolf Hitler berusaha keras meredam semua berita buruk demi bisa menyelamatkan nama Reich Ketiga yang mulai pesimis akan memenangkan perang.
Dan imbasnya masih terasa sampai sekarang. Peristiwa kapal nahas itu hanya disebutkan sekilas-sekilas seolah tidak penting.
Karena itulah kita patut berterima kasih kepada Ruta Sepetys, penulis keturunan Lituania kelahiran Amerika, yang mendedikasikan hidupnya untuk menuliskan bagian-bagian sejarah yang nyaris tersamarkan oleh waktu.
Berkat novelnya yang berjudul Salt to the Sea, Sepetys sukses mengangkat Wilhelm Gustloff ‘ke permukaan’, memperkenalkannya kepada para penyuka literasi terutama pembaca dewasa muda.
Kisah novel ini terbagi dalam empat sudut pandang tokoh utama remaja yang berasal dari negara serta latar belakang berbeda: Joana, seorang perawat asal Lituania; Florian, seorang pengembara asal Prusia; Emilia, seorang gadis asal Polandia; dan Alfred, seorang serdadu asal Jerman.
Kedengarannya rumit, memang.