Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Berbicara tentang ekonomi yang di dalamnya ada dunia kerja tentu masih didominasi oleh kaum pria.
Wanita sering kali kesulitan untuk bisa menduduki posisi atau jabatan strategis yang lebih tinggi atau disebut fenomena glass ceiling atau atap kaca.
Selain itu, wanita juga kerap mendapatkan tuntutan atau peran domestik di rumah, dimana ini bisa dianggap 'menghambat’ untuk berkarier.
Kondisi ini disoroti pula oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Bintang Puspayoga.
Baca juga: Sambut Hari Kartini, Ini Daftar Film Bertemakan Emansipasi Wanita: Kartini hingga Sokola Rimba
Ia mengungkapkan, perlindungan dan pemenuhan hak yang setara bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk perempuan dan anak telah diamatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut analisa dari ILO pada Juni 2020, secara rata-rata, laki-laki di Indonesia memiliki pendapatan 20 persen sampai 23 persen lebih besar dari wanita Indonesia.
"Faktor yang memperburuk kesenjangan di Indonesia bukanlah disebabkan karena kemampuan dan pendidikan antara wanita dan pria melainkan karena pandangan terhadap pembagian peran yang dapat dilakukan oleh wanita dan pria yang merupakan dampak dari adanya diskriminasi,” ujar Bintang Puspayoga dalam Webinar HerStory Breaking the Glass Ceiling: Women Leaders on Economic Empowerment, beberapa waktu lalu.
Dikesempatan yang sama hadir pula Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Dr. Lucia Rizka Andalusia menyampaikan, para wanita Indonesia berperan dalam penanggulan masalah kesehatan.
Di awal pandemi dan di saat pandemi, pihaknya berupaya untuk mendapatkan obat-obatan, memenuhi kebutuhan vaksin, melaksanakan program vaksinasi untuk mendapatkan herd immunity bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Tentunya, hal tersebut membutuhkan perjuangan yang sangat berat dan membutuhkan konsistensi untuk terus berjuang. Kami sebagai wanita Indonesia memposisikan peran kita bersama dengan tenaga kesehatan lain dengan gender yang berbeda,” terang Dr. Lucia Rizka Andalusia.
Berdasarkan data dari BPS, indeks ketimpangan gender (IKG) dan data gender Inequality Index (GII) dari UNDP, ketimpangan gender masih terjadi karena kelompok penduduk pria dan wanita belum memiliki akses yang sama atau setara untuk berperan dalam pembangunan.
Indikator ini diukur dari aspek kesehatan, peemberdayaan, serta akses dalam pasar tenaga kerja.
Fenomena glass ceiling umumnya terjadi pada perempuan dan kelompok minoritas lain, seperti orang dengan disabilitas.
“Kenaikan pertumbuhan ekonomi belum setara dengan angka ketimpangan gender. Pasalnya, angka ketimpangan gender masih tinggi di Indonesia, meskipun angkanya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun,” kata Clara Aprilia Sukandar selaku Pemimpin Redaksi HerStory.co.id.
Wanita Jadi Agen Perubahan
Direktur Keuangan dan Administrasi PT Elnusa Petrofin Hanny Retno Hapsari memberikan, beberapa tips agar wanita Indonesia berani untuk menunjukkan kemampuannya.
Yakni mengetahui diri sendiri, mencari support system yang selalu memberikan dampak positif, membangun jejaring, mencari mentor sesuai dengan bidang masing-masing, dan investasi dalam diri sendiri.
“Kalau ingin sukses kita harus tahu diri kita sendiri, kelebihan yang bisa digali, dan mendapat dukungan dari orang terdekat. Saya dapat quotes bagus dari Sheryl Sandberg. Jadi, wanita itu harus shifting dari berpikir bahwa ‘saya enggak siap’, tapi kita harus siap dan kita harus belajar dengan melakukannya,” jelas Hanny Retno Hapsari.
Dalam acara yang sama, Dr. Inti Pertiwi Nashwari, S.P., M.Si, Direktur Perbenihan Hortikultura Kementerian Pertanian RI, menjelaskan, wanita wajib sadar bahwa mereka adalah pelaku sekaligus subyek rentan yang langsung terdampak dari berbagai permasalahan global, termasuk di sektor sosial-ekonomi pertanian.
Selain itu, wanita juga bisa menjadi agen perubahan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut bila diberdayakan dan diberikan kesempatan yang setara.
Dalam berbagai diskursus dan proses pengambilan kebijakan, sudah selayaknya memakai perspektif yang peka dan responsif terhadap gender.
"Hampir 50 persen pekerja sektor pertanian di negara berkembang adalah perempuan. Namun, produktivitas mereka terbatas karena adanya hambatan struktural dan kultural terhadap akses pengetahuan, keterampilan, hingga permodalan," ungkapnya.
Adanya tradisi di kalangan keluarga petani untuk mewariskan ilmu dan usaha tani ke generasi laki-laki membuat posisi dan pengaruh mereka lebih dominan di sektor pertanian.
Padahal, wanita tani sering kalii memiliki tanggung jawab yang berat, mulai dari mengasuh anak, mengerjakan urusan rumah tangga, sekaligus membantu suaminya bekerja di ladang. Ironisnya, mereka kerap kali dibayar lebih rendah atau bahkan tanpa upah.
Pada dasarnya, setiap wanita bisa sukses ketika berusaha semaksimal mungkin di tengah adanya keterbatasan.