TRIBUNNEWS.COM - Riset yang dilakukan oleh Mark Leary menunjukkan hasil menarik mengenai respon orang dewasa pada saat menghadapi ketidaksepakatan dengan orang lain.
Leary mengumpulkan beberapa responden untuk mengestimasikan seberapa sering mereka tidak sepakat dengan orang lain - mengenai siapa yang benar dan salah saat adanya konflik.
Mengejutkannya, lebih dari 80 persen responden menyatakan bahwa merekalah pihak yang benar. Penelitian mengenai bias kepercayaan diri ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang ‘mengagungkan’ kemampuan, keyakinan, dan opini mereka.
Lantas, apakah hal tersebut salah? Yang salah bukanlah kepercayaan diri itu, namun sikap arogan untuk tidak menyadari kesalahan sendiri dan juga tidak menghargai orang lain.
Overconfidence atau kepercayaan diri yang berlebihan seringkali menjadi batu sandungan bagi banyak orang dalam dunia pekerjaan. Lawan dari kepercayaan diri yang berlebihan adalah kerendahan hati. Mari, kita berkenalan dengan intellectual humility -suatu konsep sederhana, namun bermanfaat dalam pengembangan personal dan karir setiap orang.
Apa itu Intellectual Humility?
Intellectual humility secara sederhana merupakan sebuah pengakuan bahwa hal-hal yang dipercayai mungkin saja salah. Konsep ini mungkin saja terlihat mudah, tapi faktanya masih banyak orang yang keras kepala dan menolak pendapat orang lain dalam dunia kerja.
Orang yang rendah hati secara intelektual tahu bahwa keyakinan, pendapat, dan sudut pandang mereka bisa salah. Mereka menyadari bahwa bukti yang mendasari keyakinan mereka bisa terbatas -mereka mungkin tidak memiliki keahlian atau kemampuan untuk memahami dan mengevaluasi argumen tersebut.
Intellectual Humility melibatkan pemahaman bahwa kita tidak dapat sepenuhnya mempercayai keyakinan dan pendapat kita karena kita mungkin mengandalkan informasi yang salah atau tidak lengkap atau tidak mampu memahami detailnya.
Menurut Julia Rohrer ada tiga tantangan besar yang perlu dihadapi menuju kerendahan hati:
Setiap orang perlu lebih menghargai titik buta atau pengetahuan yang tidak pernah kita pelajari. Kerendahan hati mendorong seseorang untuk lebih mencintai ketidaksempurnaan, daripada mencari pengakuan.
Dengan hal ini, kita dapat melihat kelemahan atau segala hal yang belum pernah kita tahu sebelumnya.
Bahkan dalam mengatasi tantangan besar dan mencari tahu kesalahan sendiri, tidak akan ada hukuman terhadap seseorang yang mengakui kesalahannya -orang yang berani mengatakan bahwa “saya salah”.
Kita tahu bahwa kata tersebut seringkali dianggap tabu oleh banyak orang, maka dari itu diperlukan seribu keberanian untuk menjadikannya sebagai budaya. Kita tidak akan pernah mencapai kerendahan hati intelektual yang sempurna, jadi kita perlu memilih keyakinan kita dengan bijaksana.
Mempertanyakan sudut pandang pribadi memang bukan hal yang mudah, terasa seperti ada keraguan dan ketidakpastian akan setiap hal yang telah kita pelajari. Tetapi, intellectual humility bukanlah suatu gagasan yang membuat seseorang tidak memiliki ‘warna’ atau opini pribadi.