Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Generasi Z atau dikenal sebagai Gen Z saat ini kian banyak mendapatkan sorotan, karena keunikan karakter, pola pikir hingga sikap mereka, baik dalam lingkungan maupun dunia kerja.
Di lingkup dunia kerja, kelompok usia satu ini disebut sebagai generasi yang selalu merasa tertekan dan mudah khawatir dan insecure.
Baca juga: Di Kalangan Milenial dan Gen Z, Prabowo Subianto Dikenal Sebagai Sosok Patriot
Hal ini ditunjukkan dari laporan yang dirilis Mercer Marsh Benefits (MMB) - Marsh Indonesia yang menghasilkan survey terbaru Health on Demand 2023 mengenai prioritas kesehatan dan kesejahteraan karyawan.
Survey ini dilakukan terhadap lebih dari 17.500 karyawan di 16 pasar seluruh dunia, termasuk lebih dari 5.200 karyawan di Asia pada Oktober hingga November 2022.
Managing Director MMB Indonesia Country Leader, Wulan Gallacher mengatakan bahwa Gen Z kini sudah mulai masuk dalam banyak perusahaan, dengan segala dinamika kehidupan mereka.
"Munculnya Gen Z yang 'benar-benar anak muda', karyawan-karyawan yang memulai pekerjaan yang pertama itu sekarang sudah mulai. Saat ini kita lihat tren bahwa Gen Z sudah mulai masuk ke dalam kelompok karyawan," kata Wulan, dalam paparan hasil Survey Health on Demand 2023 MMB di Hotel Fairmont, Jakarta Selatan, Kamis (13/7/2023).
Baca juga: Jadi Pemilih Dominan di Pemilu, Gen Z Diharapkan Tidak Dilibatkan untuk Kepentingan Elektoral Saja
Ia menjelaskan bahwa saat ini, pengusaha mulai menyoroti banyaknya Gen Z yang masuk ke perusahaan mereka.
"Kalau sekarang employers melihat mulai banyaknya Gen Z masuk ke dalam employee mereka," jelas Wulan.
Ia pun menyebutkan sederet hal yang memicu munculnya kekhawatiran pada generasi setelah millenial ini.
Hal pertama adalah generasi ini kerap merasa berada di bawah tekanan, begitu pula saat berada di dunia kerja.
Padahal mereka bukan karyawan lama dan baru saja mendapatkan pekerjaan pertama.
"Sebenarnya apa sih yang Gen Z khawatirkan dan masalah-masalah yang mereka hadapi?, satu, kalau kita lihat adalah Gen Z ini punya pekerjaan pertama, masuk pertama kali, lalu mereka merasa bahwa sudah merasakan pressure," papar Wulan.
Bahkan tidak jarang di antara Gen Z ini merasa menanggung beban hidup yang begitu besar.
Mereka juga banyak yang memiliki tuntutan lebih besar terhadap lingkungan termasuk pekerjaan, dibandingkan dengan apa yang telah mereka lakukan.
Hal ini juga terkait manfaat kesehatan yang ditawarkan perusahaan terhadap mereka, meskipun mereka baru mulai bekerja di perusahaan itu.
"Mereka sudah merasakan bahwa mereka menanggung keluarga, tapi mereka juga merasa bahwa health benefitnya atau biaya medicalnya nggak cukup," tutur Wulan.
Selanjutnya, para Gen Z ini biasanya akan melihat pula bahwa mereka harus 'adapting to work realities'.
Sehingga biasanya saat mereka baru memulai pekerjaan, selalu merasa berada di bawah tekanan.
"Jadi maksudnya di sini adalah mereka itu merasa bahwa beradaptasi dengan pekerjaan itu banyak sekali pressurenya," jelas Wulan.
Wulan pun membandingkan dengan apa yang dialami generasi sebelumnya yang mendapatkan pelatihan semacam training program sebelum memulai pekerjaan.
Kesempatan ini yang kini jarang diperoleh karyawan Gen Z, sehingga mereka cenderung memiliki mindset terhadap lingkungan pekerjaan.
"Misalnya dulu ada training program untuk karyawan yang baru masuk, sekarang mereka (Gen Z) bahkan begitu pertama kali masuk perusahaan belum tentu ada program pengenalan," kata Wulan.
Hal inilah yang dianggap menjadi salah satu penyebab mengapa Gen Z memiliki tingkat stress yang tinggi dan dipengaruhi pikiran negatif, bahkan sebelum memulai pekerjaan.
"Mereka harus langsung mengerti apa yang harus dikerjakan, ini yang membuat stress level mereka menjadi tinggi. Nah itu mungkin sesuatu yang harus perusahaan lihat bahwa mungkin harus ada sedikit pengenalan ke Gen Z ini supaya mereka ada semacam training program sebelumnya. Millenial itu ada trainingnya, nah itu mungkin salah satu yang perlu diperhatikan," papar Wulan.
Kemudian Gen Z ini, kata dia, juga sangat terpengaruh dengan apa yang ada di media sosial.
Mulai dari gaya hidup, cara kerja hingga cara komunikasi dan mencari informasi pun mengadopsi apa yang mereka lihat di jagad maya.
"Lalu mereka juga envolving social connections, media sosial itu kan sekarang sangat mempengaruhi gaya kerja, gaya hidup, cara komunikasi atau mencari informasi. Jadi itu yang mempengaruhi pikiran mereka, mereka juga kadang-kadang worry dengan lingkungan sosial yang lifestyle nya beda-beda," jelas Wulan.
Gen Z dianggap sebagai generasi yang banyak membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain.
Pikiran generasi ini dipenuhi kekhawatiran terhadap banyak hal.
"Ia melihat di social media kalau teman-temannya lagi traveling misalnya, lalu bisa melihat mereka punya lifestyle yang beda, itu juga menjadi pressure buat generasi Z ini. Dan mereka juga kadang-kadang worry mengenai kehidupan mereka hari ini dan besok," tutur Wulan.
Wulan menegaskan bahwa generasi satu ini bahkan bisa dianggap 'banyak menuntut sebelum memulai pekerjaan'.
Hal ini salah satunya dipengaruhi apa ya yang mereka lihat di media sosial.
"Jadi banyak sekali hal-hal yang sebenarnya mereka sudah mulai concern, padahal baru mau memulai kerja. Dan itu semua disebabkan oleh connection information dari social media," kata Wulan.
Lalu apa yang bisa dilakukan perusahaan untuk bisa membantu Gen Z dalam menghadapi pressure itu?
Dalam survey yang dilakukan pihaknya, 53 persen menilai bahwa pemberian manfaat kesehatan dari perusahaan terhadap keluarganya sangat penting.
Menurut kelompok usia ini, tentu saja ini akan membantu dalam mengurangi beban yang menjadi fokus mereka.
"Dari hasil surveynya kita itu, banyak yang melihat bahwa 53 persen di antara mereka merasa bahwa kalau perusahaan itu memberikan semacam benefit dan juga bisa membantu keluarganya mereka, anak-anak mereka, ayah ibunya, itu juga sangat membantu concern mereka," tutur Wulan.
Sedangkan mereka yang berharap perusahaan dapat concern dengan isu mental health mencapai angka 46 persen.
"Bahkan 46 persen dari mereka sangat terbuka dengan kalau bisa perusahaan memberikan alternative mental health therapies," jelas Wulan.
Solusi ini bisa dilakukan dalam bentuk memberikan layanan konsultasi dengan Psikolog terkait kesehatan mental mereka selama bekerja.
"Apakah itu bicara dengan Psikolog atau diskusi dengan ahli tertentu mengenai mental healthnya mereka," papar Wulan.
Selanjutnya, 44 persen Gen Z menginginkan adanya layanan berupa screening penyakit kanker sebagai bentuk pencegahan.
"Lalu karena Gen Z masih muda, mereka juga minta kalau bisa ada preventive cancer screenings," pungkas Wulan.
Ada pula hal lainnya yang lebih mengacu pada tren masa kini yakni mengetahui risiko penyakit melalui tes genetik, ini tentu bisa mengubah gaya hidup karyawan Gen Z ke depannya.
Terkait tes genetik untuk menunjukkan risiko kesehatan ini, angka Gen Z yang mengharapkannya mencapai 44 persen.
Sedangkan solusi terakhir yang diajukan Gen Z adalah layanan untuk mengatasi rasa cemas, sedih dan perasaan insecure melalui layanan virtual, angkanya mencapai 40 persen.