"Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan Kami cabik-cabik mereka sepenuh pencabik-cabikan." (QS. Saba’ [34]: 18).
Saudara. Yang dikemukan ayat-ayat di atas adalah sunatullah. Itu adalah hukum kemasyarakatan yang kepastiannya tidak berbeda dengan kepastian “hukum-hukum alam”. Allah berfirman:
“Sekali-kali engkau -– siapapun, kapan dan di mana pun engkau -- tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah satu perubahan pun dan sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah sedikit penyimpangan pun.”
Saudara. Itulah yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia dan yang prosesnya bisa jadi yang kita saksikan dewasa ini di sekian negara di Timur Tengah.
Allahu Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.
Saudara-saudara sekalian. Allah berpesan bahwa bila Hari Raya Fithrah tiba, maka hendaklah kita bertakbir.
Kalimat Takbir merupakan satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aktivitas manusia. Dia adalah pusat yang beredar, di sekelilingnya sejumlah orbit unisentris serupa dengan matahari yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling Tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari Tauhid, sebagaimana halnya planet-planet tata surya - karena bila berpisah akan terjadi bencana kehancuran.
Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain:
1. Kesatuan seluruh makhluk karena semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “Wahdat al-Wujud/Kesatuan wujud” – dalam pengertiannya yang sahih.
2. Kesatuan kemanusiaan. Semua manusia berasal dari tanah, dari Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua harus dihormati kemanusiaannya, baik masih hidup maupun telah wafat, walau mereka durhaka. Karena itu: Siapa yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, maka dia bagaikan membunuh semua manusia dan siapa yang memberi kesempatan hidup bagi seseorang maka dia bagaikan telah menghidupkan semua manusia. (QS. al-Maidah {5]: 32)
Memang jika ada manusia yang menyebarkan teror, mencegah tegaknya keadilan, menempuh jalan yang bukan jalan kedamaian, maka kemanusiaan harus mencegahnya, karena menurut QS. Al-Hajj [22]: 40)
Seandainya Allah tidak mengizinkan manusia mencegah yang lain melakukan penganiayaan niscaya akan diruntuhkan biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki roboh-robohnya tempat-tempat peribadatan itu. Karena itu pula kemanusiaan harus bersifat adil dan beradab.
3. Di pusat Tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Kendati mereka berbeda agama, dan suku, berbeda kepercayaan atau pandangan politik, mereka semua bersaudara, dan berkedudukan sama dari kebangsaan. Karena itu sejak zaman Nabi Muhammad Saw, beliau telah memperkenalkan istilah “Lahum Ma Lanaa Wa ‘Alaihim Maa ‘Alaina”. Mereka yang tidak seagama dengan kita mempunyai hak kewargaan sebagaimana hak kita kaum muslimin dan mereka juga mempunyai kewajiban kewargaan sebagaimana kewajiban kita.
Dan karena itu pula –tegas pemimpin tertinggi Al-Azhar- Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib: “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaan negara, tidak wajar ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama."
Kesadaran tentang kesatuan dan persatuan itulah yang mengharuskan kita duduk bersama bermusyawarah demi kemaslahatan dan itulah makna “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan”.
Saudara. Kesadaran tentang kesamaan dan kebersamaan itu merupakan salah satu sebab mengapa dalam rangkaian Idul Fithri, setiap muslim berkewajiban menunaikan Zakat Fitrah yang merupakan simbol kepedulian sosial serta upaya kecil dalam menyebarkan keadilan sosial.