TRIBUNNEWS.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan mantan kepala daerah atau kepala daerah yang sedang menjabat bisa ikut Pilpres 2024 meski belum berumur 40 tahun, sebagai putusan yang problematik, cacat hukum dan terjadi penyelundupan hukum.
Diketahui, putusan itu diputus MK atas Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Mahasiswa FH Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbirru.
Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dengan adanya putusan itu, MK membuka jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden.
Yusril sebetulnya sempat menyatakan anggapan MK sebagai mahkamah keluarga tak terbukti setelah MK menolak permohonan batas usia capres-cawapres yang diajukan PSI.
Baca juga: Yusril Sebut Tuduhan Mahkamah Keluarga Tak Terbukti, Posisi MK Sebagai Penjaga Konstitusi
Dalam pernyataan terbarunya, Yusril mengaku terkecoh dengan putusan MK yang pertama.
Menurut Yusril, putusan MK yang keempat yakni putusan atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan sebuah antiklimaks atas putusan-putusan sebelumnya.
"Banyak orang yang terkecoh termasuk saya dengan putusan MK yang pertama. Saya mengatakan anggapan MK akan menjadi mahkamah keluarga tidak terbukti, dan seterusnya dan seterusnya. MK masih tepat menjadi lembaga yang menjaga konstitusi."
"Tapi sampai pada putusan keempat, tiba-tiba kita semua agak terhenyak. Sepertinya sebuah kejutan besar dan sebuah antiklimaks terhadap tiga putusan yang ada sebelumnya," kata Yusril dalam diskusi OTW 2024: : Menakar Pilpres Pasca Putusan MK, yang disiarkan live di Youtube KedaiKOPI, Selasa (17/10/2023).
Yusril mengatakan putusan MK tersebut problematik.
Pertimbangan-pertimbangan hakim dalam putusan itu tidak mengalir seperti air dari hulu ke hilir.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini bahkan menyebut putusan tersebut mengandung suatu penyelundupan hukum.
"Kalau kita telaah secara mendalam, putusan ini tidak mengalir, dari hulu sampai ke hilir sampai ke muara dan boleh saya katakan putusan ini mengandung suatu cacat hukum yang serius. Putusan ini mengandung suatu penyelundupan hukum," ujarnya.
Dikatakan Yusril, putusan tersebut juga tidak putus secara bulat.
Ada hakim yang memiliki dissenting opinion atau pendapat berbeda dan ada pula hakim yang concurring opinion atau menyatakan alasan berbeda.
Dikutip dari laman resmi MK, tiga hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Adapun dua hakim yang menyatakan alasan berbeda yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.
(Tribunnews.com/Daryono)