Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perwakilan dari Bank Dunia ikut mengomentari program makan siang dan susu gratis dari pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen mengingatkan Indonesia harus tetap patuh pada aturan defisit fiskal sebesar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Ia juga mengingatkan bahwa program tersebut harus dipersiapkan matang dan menetapkan bentuk serta sasaran program itu, lalu dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki Indonesia.
Perihal ini, Dosen Komunikasi dari Universitas Binus, Putro Mas Gunawan menilai pernyataan Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste itu sudah keluar dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
Sebab program tersebut hingga kini masih berada dalam ranah politik domestik Indonesia, di mana penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU RI juga masih belum menetapkan siapa paslon terpilih pemenang Pilpres 2024.
"Secara konteks, kita bisa memaknai ucapan Satu itu secara politis. Pertama soal posisi Satu sebagai wakil Bank dunia. Kemudian fakta soal isu yang dikomentari itu hingga kini masih berada di ranah politik domestik Indonesia. Faktanya program ini masih dalam tataran program kampanye salah satu paslon yang masih berkontestasi dalam Pemilu 2024," kata Putro dalam keterangannya, Kamis (29/2/2024).
Menurut pengajar di STAN ini, meski Prabowo - Gibran unggul dalam perhitungan sementara KPU RI, tapi mereka belum ditetapkan sebagai paslon terpilih. Pernyataan perwakilan Bank Dunia pun dipertanyakan karena masuk dalam ranah isu yang masih bersifat politis.
"Ucapan Satu jelas keluar dari batasan tupoksinya sebagai wakil Bank dunia. Mengomentari program kampanye salah satu capres yang secara resmi masih berkontestasi,” ungkap dia.
Putro kemudian menukil artikel yang ditulis oleh profesor Institute for Environmental Science and Technology (ICTA-UAB), Jason Hickel. Dalam artikelnya Hickel memaparkan paradoks dari institusi bank dunia.
Institusi yang kata Putro, justru menjadi hegemoni negara barat seperti Amerika dan Eropa. Putro mencontohkan Amerika memiliki veto atas setiap keputusan krusial bank dunia. Sebaliknya negara Eropa memiliki porsi setengah dari suara di bank dunia. Sebaliknya mayoritas negara berkembang yang mewakili 85 persen populasi dunia hanya memiliki suara minoritas.
"Meski bank dunia kerap menunjuk pejabatnya dari negara dunia ketiga, macam Sri Mulyani dari Indonesia, hal itu tak sekadar kamuflase atau proxy atas kepentingan belaka. Sebab secara prinsip, bank dunia dibangun atas pondasi yang semakin melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi di dunia,” ungkapnya.
Baca juga: Program Makan Siang Gratis Disorot Bank Dunia, Gibran Beri Respons Begini
Sehingga kata dia, suara dari Bank Dunia tak selamanya mencerminkan kepentingan bersama. Ucapan Bank Dunia menurutnya lebih serin menjadi representasi kepentingan barat utamanya Amerika dan Eropa.
"Agaknya bank dunia dan pemerintah Indonesia mesti bersikap tegas pada tindakan Satu Kahkonen. Kesalahan fatal Satu mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia mesti dikompensasi dengan ditariknya sang perwakilan bank dunia itu dari Indonesia," ucap Putro.
Putro lantas menukil ucapan komika wanita Amerika, Sarah Silverman.
“We don't live in a democracy; we live in hypocrisy (kita tidak hidup dalam negara demokrasi; kita hidup dalam kemunafikan),” pungkas dia.