TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bareskrim Polri mengatakan satu dari tujuh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur, Malaysia yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penggelembungan atau mark up daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu masih buron.
Tujuh tersangka tersebut diketahui berinisial UF, PS, APR, AKH, TOCR, DS, dan MKM. Namun, MKM hingga kini masih belum diketahui dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
"MKM, mantan anggota PPLN Kuala Lumpur, tersangka DPO," kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro dalam keterangannya, Jumat (8/3/2024)
Djuhandani mengungkapkan, penyidik masih terus melakukan pencarian terhadap tersangka.
Dari informasi terakhir yang didapat penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, MKM berada di Indonesia.
"Data perlintasan sudah berada di Indonesia. Sedang kita cari," ujarnya.
Di sisi lain, Djuhandani menyebut, penyidik hari ini juga akan melakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) ke kejaksaan untuk disidangkan.
Ia menjelaskan, masih buronnya salah satu tersangka tak akan menggangu proses persidangan yang akan berlangsung.
"DPO tidak masalah karena tetap akan disidangkan tanpa kehadiran tersangka (in absentia)," ungkapnya.
Ada Lobi-Lobi Partai Politik
Sebelumnya, Polri menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Pemilu berupa penambahan jumlah pemilih di Kuala Lumpur, Malaysia.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan penetapan status tersangka ini berdasarkan gelar perkara yang dilakukan pada 28 Februari 2024.
"Menambah jumlah yang sudah ditetapkan ditambah lagi jumlah (tersangka). (Per hari ini) 7 tersangka," kata Djuhandani Rahardjo Puro dalam keterangannya, Kamis (29/2/2024).
Baca juga: KPU Siapkan 22 TPS dan 120 KSK untuk Pencoblosan Ulang di Kuala Lumpur Minggu 10 Maret 2024
Para tersangka dijerat dengan Pasal 545 dan/atau Pasal 544 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
"Terjadi di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia dalam kurun waktu sekitar tanggal 21 Juni 2023 sampai dengan sekarang," jelasnya.
Adapun, kata Djuhandani, enam orang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana Pemilu berupa dengan sengaja menambah atau mengurangi daftar pemilih dalam Pemilu setelah ditetapkannya daftar pemilih tetap dan/atau dengan sengaja memalsukan data dan daftar pemilih.
Sementara satu orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana Pemilu dengan sengaja memalsukan data dan daftar pemilih.
Para tersangka memalsukan data pemilih tersebut hingga ratusan ribu orang secara sistematis.
“Bahwa dari DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) KPU RI untuk pemilih di Kuala Lumpur adalah sejumlah 493.856,” ucapnya.
Awalnya, kata Djuhandani, diterbitkannya berita acara (BA) dengan nomor: 007/PP.05.1.BA/078/2023 tanggal 5 April 2023 tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) Tingkat PPLN Kuala Lumpur dengan Jumlah 491.152 pemilih.
Setelah itu, diterbitkan BA kembali nomor: 008/PP.05.1.BA/078/2023 tanggal 12 Mei 2023 tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) Tingkat PPLN Kuala Lumpur, dengan jumlah 442.526 pemilih.
Lalu, diterbitkan BA kembali nomor : 009/PP/05. I-BA/078/2023 tanggal 21 Juni 2023 tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tingkat PPLN Kuala Lumpur, berjumlah 447.258.
Baca juga: Berkas 7 PPLN Kuala Lumpur yang Mark Up DPT Lengkap, Besok Diserahkan ke Kejagung untuk Disidang
Dari penyelidikan yang ada, hasil penyusunan jumlah DPT tersebut tidak sesuai dengan faktanya.
Setelah dipastikan melalui proses pencocokan dan penelitian (coklit) hanya terdapat 64.148 pemilih di Kuala Lumpur.
“Yang telah dilakukan Coklit oleh Pantarlih hanya sebanyak 64.148. Namun PPLN Kuala Lumpur telah menetapkan Daftar Pemilih untuk Pemilihan Tahun 2024 di wilayah Kuala Lumpur,” ungkapnya
Djuhandani menyebut ada dugaan penentuan ratusan ribu DPT itu dilakukan atas persentase kesepakatan loby-loby perwakilan Partai Politik.
“Daftar Pemilih Tetap dan Data Pemilih telah ditetapkan oleh PPLN Kuala Lumpur tersebut, dilakukan dengan cara tidak benar dan tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan,” jelasnya
“Hanya berdasarkan perhitungan persentase dari kesepakatan loby-loby dengan perwakilan Partai Politik,” sambungnya.