Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Feri Amsari mengomentari pernyataan ahli 02 Prabowo-Gibran bahwa putusan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak bisa jadi acuan untuk sengketa Pemilihan Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya dalam persidangan sengketa pilpres di MK, Kamis (4/4/2024), ahli dari Prabowo-Gibran, Margarito menyatakan MK tak bisa ambil putusan pilpres dilandasi putusan pilkada.
Margarito menyatakan pilkada dan pilpres tidak dapat disamakan.
Diketahui MK pernah mengabulkan sengketa pilkada. Misalnya terjadi pada 2010 MK kabulkan pilkada ulang di Kebumen, Jawa Tengah.
Baca juga: Kemenangan di Pilpres Digugat karena Dinilai Curang oleh Pihak Lain, Prabowo: Tuduhan yang KejamĀ
Pemohon beralasan bahwa pilkada tersebut penuh dengan modus politik uang.
"Alasan mereka apa? Beda ranah? Padahal itu tidak bicara soal ranah kepemiluan, bukan bicara soal rezim. Tapi bagaimana sebuah proses demokrasi itu dicurangi," kata Feri kepada Tribunnews.com di Jakarta, Jumat (19/4/2024).
Feri meyakini sejarah MK mengabulkan sengketa pilkada biasa digunakan pada sengketa pilpres.
"Jadi sebetulnya logikanya bisa dipakai untuk pilpres. Apalagi rezim pemilu sudah digabungkan. Jadi pilkada rezim pemilu," jelasnya.
Menurutnya hal yang aneh jika MK menentang putusannya sendiri.
"Kedua yang perlu dipahami bahwa penyelenggaraan pemilu dan pilkada sama. Yang milih juga sama rakyat Indonesia, apa bedanya," terangnya.
Atas hal itu ia menyatakan pernyataan kubu 02 tersebut di persidangan sengketa Pilpres 2024 di MK hanya mencari alasan.
"Jadi sekali lagi, ini cuman alasan yang dicari untuk membangun argumentasi bahwa mahkamah tidak berwenang," tegasnya.